EKBIS.CO, JAKARTA-- Pemerintah diminta untuk memperhatikan industri hasil tembakau atau rokok pada masa new normal. Pabrik rokok dikhawatirkan semakin berkurang akibat pandemi virus corona.
Merujuk data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), jumlah pabrik rokok selama 2011 sebanyak 1.540 pabrik, kemudian berkurang pada 2012 sejumlah 1.000 pabrik, dan pada 2013 sejumlah 800 pabrik. Selanjutnya pada 2014 jumlahnya berkurang jadi hanya 700 pabrik, pada 2015 sejumlah 600 pabrik, pada 2016 dan pada 2017 sejumlah 487 pabrik rokok.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad mengatakan saat ini hanya 100 pabrik rokok yang masih aktif berproduksi. Dia khawatir jumlahnya akan berkurang akibat pandemi Covid-19.
“Sekarang cuma 100 pabrik yang masif aktif berproduksi setiap harinya. Makanya tidak heran kalau banyak pabrikan rokok kecil yang gulung tikar. Padahal pabrik rokok kecil ini mempunyai manfaat yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar,” ujarnya dalam keterangan tulis, Senin (1/6).
Menurutnya kondisi tersebut juga diperparah dengan naiknya cukai rokok sebesar 23 persen pada awal tahun ini dan rata-rata harga jual eceran sebesar 35 persen. “Kebijakan tersebut mengakibatkan harga rokok naik, namun penjualannya turun, kondisi Covid-19 dan resesi ekonomi saat ini, jumlah pembelian tembakau semakin menurun," katanya.
Azami berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan industri tembakau di masa new normal, utamanya pabrik rokok kecil. Apalagi penerimaan negara juga saat ini hanya cukai rokok yang mengalami pertumbuhan signifikan.
Adapun realisasi cukai hasil tembakau atau rokok hingga akhir April 2020 sebesar Rp 43,33 triliun atau tumbuh 26,05 persen (yoy). "Kami berharap di masa new normal pemerintah mampu bersikap adil dalam menempatkan industri hasil tembakau sebagai sektor strategis nasional," ucapnya.
Azami juga menjelaskan saat ini kondisi industri tembakau semakin sulit dengan di masa pandemi. Menurutnya berbagai pihak juga menekan industri tembakau, seperti kampanye antirokok global Bloomberg Initiative.
Lembaga filantropi yang didirikan miliarder Amerika Serikat (AS) Michael Bloomberg itu menggelontorkan uang hampir satu miliar dolar AS demi mengurangi aktivitas merokok di seluruh dunia. Bloomberg Initiative didirikan untuk mengurangi tembakau, khususnya di negara miskin dan berkembang.
Salah satu negara yang menjadi target adalah Indonesia. Agenda tersebut untuk pertama kalinya dimulai pada 2002 dan akan berakhir pada 2022 mendatang.
"Mereka sekadar menunaikan kewajiban yang diorder oleh pendonor asing agar sesuai dengan pedoman Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)," ucapnya.
Tak hanya itu, Azami juga menilai adanya dorongan perluasan gambar peringatan di bungkus rokok menjadi 90 persen tak beralasan. "Sejauh ini strategi perluasan gambar peringatan di bungkus rokok sama sekali tidak terbukti mengurangi pravelensi perokok di Indonesia. Jika strategi ini tidak berhasil kenapa masih terus didorong?” ucapnya.