EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah kembali menggencarkan upaya diversifikasi pangan lokal untuk mengurangi beban komoditas beras sebagai pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Salah satu pangan lokal yang terdapat di Indonesia dan dikonsumsi turun temurun yakni sagu.
Dikutip dari data Kementerian Koordinator Perekonomian, luas lahan sagu di dunia mencapai 6,5 juta hektare (ha). Dari luasan itu, sebanyak 5,43 juta ha atau 83,4 persen terdapat di Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdalifah Mahmud, menjelaskan, mayoritas lahan sagu di Indonesia, sekitar 96,8 persen terdapat di Papua dan Papua Barat. Hanya saja, tanaman sagu tumbuh di area hutan lindung di mana tidak boleh terdapat campur tangan manusia.
"Ini menjadi tantangan untuk bisa mewujudkan industrialisasi," kata Musdalifah dalam Webinar Pembangunan Industri Berbasis Sagu Terpadu dan Berkelanjutan yang diselenggarakan IPB University, Selasa (16/6).
Ia mengatakan, pada era 1954 beras hanya berkontribusi sekitar 46 persen sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia Timur sisanya diisi oleh berbagai panganan lokal. Seiring berjalannya waktu, beras kian mendominasi dan mulai 2010 100 persen pangan pokok dipenuhi dari beras dan tepung terigu yang notabener produk impor.
Padahal, kata Musdalifah, kandungan gizi sagu tak kalah dengan pangan lokal lainnya, termasuk beras. Sagu terbukti memiliki kandungan karbohidrat tertinggi dibanding pangan lokal lainnya, namun memiliki indeks glikemik yang rendah sehinggga baik untuk kesehatan.
Melihat pentingnya untuk mengembangkan sagu untuk kembali mengisi porsi pangan lokal, ia mengatakan pemeritah telah memasukkan sagu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Setidaknya terdapat tujuh wilayah pembangunan yakni Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Jawa-Bali, dan Sumatera.
Khusus Papua, telah disusun strategi pengembangan sagu dalam program penguatan pusat-pusat pertumbuhan komoditas unggulan. Selain itu, dilakukan penataan otonomi khusus, salah satunya melalui pengembangan tujuh wilayah adat.
Musdalifah mengatakan, dari tujuh wilayah adat, terdapat tiga wilayah yang di dalamnya tengah dilakukan upaya hilirisasi industri sagu. Yakni di Kota Jayapura wilayah adat Mamta, Kabupaten Mimika wilayah adat Mee Pago, serta Kota Merauke wilayah adat Anim Ha.
"Tiga wilayah adat ini sedang dilakukan hilirisasi industri sagu diharapkan ini bisa terwujud sampai tuntas. Sagu diharapkan bisa meningkakan nilai tambah ekonomi," katanya.
Namun, ia mengakui dalam pengembangan hilirsasi industri sagu, terdapat banyak tantangan yang dihadapi. Baik dari segi sosial, infrastruktur jalan, standar kualitas sagu, standar budidaya pertanian sagu, serta perizinan lahan karena sagu banyak terdapat di hutan lindung.
Menurut dia, untuk bisa memanfaatkan hutan lindung dalam budidaya sagu, diperlukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dengan membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).