EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana melakukan redenominasi atau perubahan nilai rupiah melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi). Rencana tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2020-2024 yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020.
Disebutkan bahwa urgensi redenominasi adalah menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang atau jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah. RUU tersebut ditargetkan rampung pada 2021 hingga 2024.
Dilansir Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Tujuan redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang atau jasa.
Gagasan redenominasi di Indonesia mengemuka saat Darmin Nasution menjabat sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur BI menggantikan Boediono yang ketika itu menjadi wakil presiden pada 2008. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang menembus angka 6 persen dikatakan sebagai momentum tepat direalisasikannya hal ini, sekaligus untuk menjawab tantangan dalam menghadapi integrasi ekonomi regional.
BI kemudian mulai melakukan kajian soal redenominasi. Ide tersebut juga langsung disambut pemerintah. Gagasan menghapus tiga angka nol pada rupiah telah berada di depan mata dengan upaya sosialisasi ke publik pada 2011-2012.
Merasa yakin, akhirnya pada Juni 2013, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengirimkan surat bernomor 25/Pres/06/2013 tentang Rancangan UU tentang Perubahan Harga Rupiah atau RUU Redenominasi kepada DPR. DPR menindaklanjutinya dengan memasukan RUU redenominasi pada 25 Juni 2013 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Namun, pada waktu itu, pemerintah maupun DPR sudah sibuk dengan pertarungan jelang Pemilu 2014. Rasa pesismistis publik pun muncul terhadap redenominasi.
Meskipun inti dari redenominasi adalah menyederhanakan mata uang, tetapi pelaksanaannya tak sesederhana konsepnya. Menghapus tiga angka nol memang bukan sesuatu yang sulit, namun ternyata bisa berdampak besar setelahnya.
Sejak 1963-2008, tercatat setidaknya ada 30 negara yang telah melakukan redenominasi mata uangnya. Diantara negara yang memangkas 6 angka nol dalam mata uangnya adalah Turki pada 2005, Angola pada 1999, Georgia pada 1995, Peru pada 1991, dan Bolivia pada 1987.
Namun, tidak semua negara sukses melakukan redenominasi. Bagi negara yang gagal menerapkan redenominasi, seperti yang telah disebutkan justru program ini dapat memperparah inflasi.
Pengamat ekonomi dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adinegara mengatakan redenominasi Rupiah saat ini sangat tidak tepat dilakukan. Bahkan, ia menyebut kemungkinan akan hal itu hingga 2024.
Menurut Bhima, situasi di Indonesia dapat dikatakan sedang dan belum dapat dipastikan kapan pertumbuhan ekonomi dapat kembali mencapai 5 persen.
Ia mengatakan ada tiga syarat utama sebelum dilakukannya redenominasi mata uang oleh sebuah negara, yaitu pertama adalah nilai tukar stabil, kedua inflasi yang terkendali, dan ketiga fundamental ekonomi harus dalam kondisi baik.
“Sebelum melakukan redenominasi ada prasyarat stabilitas ekonomi yang diprioritaskan,” ujar Bhima kepada Republika.co.id pada Kamis (9/7).
Bhima mengatakan bahwa pertimbangan utama dari redenominasi adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi karena perubahan nominal uang dapat mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan harga.