Kamis 16 Jul 2020 08:54 WIB

Tak Hanya Pandemi, Potensi Resesi Juga karena Ini

Amerika Serikat dan China kembali berseteru soal dalang Covid-19.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Friska Yolandha
Covid-19 (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Covid-19 (ilustrasi).

EKBIS.CO,  SLEMAN -- Belum usai perang dagang AS-China, hubungan kedua adikuasa memanas karena pandemi Covid-19. Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani mengatakan, keduanya berseteru soal dalang Covid-19.

"Perang dagang antara AS dan China, serta pandemi Covid-19 memberikan dampak besar bagi aktivitas perekonomian, baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju," kata Listya dalam webinar yang digelar Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII.

Baca Juga

Ia menyampaikan, perekonomian Indonesia sudah menurun, bahkan sejak sebelum Covid-19 diakui masuk ke Indonesia. Data yang dihimpun Bank Indonesia (BI) perang dagang antara AS-China dan pandemi Covid-19 memiliki dampak meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia.

Ini terjadi kepada masyarakat yang biaya hidup per harinya di bawah 1,9 dolar AS. Selain itu, dampak perang dagang membuat ekspor sawit Indonesia menurun hingga 17 persen, yang disebabkan pula oleh kebijakan beberapa negara untuk kepentingan negaranya.

Ekspor otomotif, besi, baja, dan aluminium turut terganggu. Padahal, harusnya Indonesia bisa meraih keuntungan hingga 241,2 juta dolar AS dari ekspor otomotif dan 70 juta dolar AS dari ekspor aluminium, dan pelemahan sektor ini salah satu dampak paling terasa.

AS terapkan kebijakan moneter naikkan suku bunga lebih tinggi dari biasanya, membuat investor mengambil modal negara-negara berkembang seperti Indonesia. Data IMF, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia turun hingga 0,3 persen pada April 2020.

Berdasarkan kondisi pandemi, mayoritas harga komoditas pertanian mengalami peningkatan, tapi harga komoditas logam mengalami penurunan. Secara spesifik, Listya menuturkan, minyak kelapa sawit pada triwulan pertama 2020 menguat jadi 725 dolar AS per metrik ton.

Komoditas pertanian lain yang akan alami kenaikan antara lain beras, gandum, kopi arabika, kedelai, dan cokelat. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam melakukan pembatasan aktivitas sosial menyebabkan turunnya permintaan industri bahan baku.

Harga aluminium, timah, seng, dan tembaga menurun pada triwulan pertama 2020. Meningkatnya ketidakpastian dan validitas pasar keuangan kuartal I mendorong permintaan logam mulia, rata-rata harga emas pada kuartal I 2020 naik hingga 21,4 persen.

"Lemahnya perekonomian saat ini membuat Indonesia berada pada resesi ekonomi," ujar Listya.

Faktornya ketidakseimbangan produksi dan konsumsi, melambatnya dan merosotnya pertumbuhan ekonomi, serta nilai impor yang jauh lebih tinggi dibanding nilai ekspor. Data BPS, ekspor Indonesia turun hingga 28,9 persen pada Mei 2020 dibanding 2019.

Indonesia memiliki ketergantungan tinggi dengan negara yang sedang berseteru, AS dan China. Pasalnya, BPS mencatat Cina menduduki peringkat pertama sebagai negara-negara yang melakukan ekspor impor dengan Indonesia, sedangkan AS di posisi kedua.

Resesi ekonomi dilihat pula dari tingginya tingkat pengangguran. Berdasarkan data BPS, sejak 2016 pengangguran di Indonesia selalu mencapai angka di atas enam juta orang dan selalu dikaitkan angka kemiskinan di Indonesia yang masih relatif tinggi.

Inflasi dan deflasi turut andil dalam indikator resesi ekonomi. Inflasi di Indonesia sempat tidak ada pada Lebaran 2020 karena rendahnya permintaan di tengah-tengah pandemi. Berdasar seluruh indikator itu, Indonesia sudah masuki fase resesi ekonomi.

"Karenanya, pemerintah membangun kebijakan dengan BI sebagai usaha stabilkan perekonomian. Salah satu yang dilakukan dengan ciptakan mekanisme pembagian beban antara pemerintah dengan BI untuk mempercepat pemulihan ekonomi," kata Listya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement