Selasa 28 Jul 2020 02:00 WIB

Jack Ma Digugat Mantan Karyawan di Pengadilan India

Kasus ini mencuat setelah India melarang aplikasi UC Browser milik Alibaba.

Rep: Febryan A/ Red: Nidia Zuraya
Jack Ma
Foto: Chinatopix via AP
Jack Ma

EKBIS.CO, NEW DELHI -- Pengadilan India telah memanggil Alibaba dan pendirinya Jack Ma untuk menghadiri persidangan pada Rabu (29/7) mendatang. Mereka akan dimintai keterangan terkait gugatan mantan karyawan Alibaba yang mengaku dipecat secara sewenang-wenang usai dirinya melihat sensor dan berita palsu di aplikasi milik perusahaan.

Kasus ini mencuat setelah beberapa pekan India melarang aplikasi UC News dan UC Browser milik Alibaba dan 57 aplikas China lainnya terkait risiko keamanan. Pelarangan itu dilakukan usai terjadinya bentrokan antara pasukan India dan China di wilayah perbatasan.

Baca Juga

China mengkritik larangan tersebut. Namun India melakukan upaya lanjutan dengan meminta keterangan tertulis kepada perusahaan yang aplikasinya dilarang. India ingin mengetahui apakah perusahaan-perusahaan itu melakukan penyensoran ataupun bertindak demi kepentingan negara tertentu.

Di tengah ketegangan itu, mantan karyawan UC Web Alibaba, Pushpandra Singh Parmar, mengajukan gugatan ke pengadilan di India pada 20 Juli. Ia menuduh perusahaan tersebut kerap menyensor konten yang dianggap tidak menguntungkan bagi China. Ia juga menyebut aplikasi UC Browser dan UC News menyajikan berita palsu “untuk menyebabkan kekacauan sosial dan politik”.

Walhasil, hakim pengadilan distrik di Kota Gurugram, India, mengeluarkan surat pemanggilan terhadap Alibaba, Jack ma, dan sejumlah individu atau unit perusahaan. Mereka diminta hadir di pengadilan pada 29 Juli. Hakim juga meminta tanggapan tertulis dari perusahaan dan eksekutifnya dalam waktu 30 hari.

UC India enggan mengomentari perkara ini. "Kami tidak bisa mengomentari litigasi yang sedang berlangsung," kata UC India dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip Reuters. Adapun perwakilan Alibaba tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters.

Sementara itu, pengacara Parmar juga enggan memberikan komentar. Parmar sebelumnya menjabat sebagai associate director di kantor UC Web di Gurugram hingga Oktober 2017 dan kini menuntut ganti rugi 268 ribu dolar AS atas pemecatannya.

Perkara ini merupakan tantangan terbaru bagi Alibaba di India setelah aplikasi mereka dilarang dan UC Web mulai merumahkan karyawannya di India.

Berdasarkan data perusahaan analitik Sensor Tower, sebelum pelarangan, UC Browser telah diunduh setidaknya 689 juta kali di India, sedangkan UC News 79,8 juta kali. Sebagian besar selama 2017 dan 2018.

Tuduhan di Pengadilan

Berdasarkan dokumen pengajuan perkara setebal 200 halaman yang ditinjau Reuters, diketahui Parmar menyertakan sejumlah kliping unggahan UC News yang ia anggap berisikan informasi salah.

Salah satunya adalah unggahan tahun 2017 yang ketika itu dijadikan berita utama dalam bahasa Hindi. Judulnya 'Uang kertas 2.000 rupee akan dilarang mulai tengah malam hari ini'.

Ada juga unggahan yang jadi headline pada 2018. Judulnya 'Baru saja: Perang meletus antara India dan Pakistan'. Artikel itu memuat penjelasan bahwa aksi saling tembak telah melintasi perbatasan kedua negara.

Reuters tak bisa memverifikasi kebenaran klaim tersebut. India tidak melarang uang kertas 2.000 rupee dan tidak ada perang yang terjadi antara India dan Pakistan pada 2018.

Gugatan itu juga berisi 'daftar kata-kata sensitif' dalam bahasa Hindi dan Inggris seperti 'perbatasan India-China' dan 'perang Sino-India'. Gugatan itu menyebut kata-kata seperti itu dijadikan oleh UC Web untuk menyensor konten pada platformnya di India.

"Untuk mengendalikan konten terkait berita apa pun yang akan diterbitkan melawan China, secara otomatis/manual akan ditolak oleh sistem audit yang dikembangkan untuk tujuan ini," kata arsip itu.

Kedutaan Besar China di New Delhi dan kementerian luar negeri China di Beijing, serta kementerian TI India di New Delhi, tidak menanggapi permintaan komentar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement