Bagaimana prosesnya dan sejauh mana pencapaiannya?
Di usianya yang sudah lebih dari 100 tahun, PT Pegadaian (Persero) tidak membiarkan dirinya tergilas oleh perubahan zaman yang begitu dinamis. Sebaliknya, sebagai salah satu BUMN tertua di Indonesia, tepatnya saat ini berusia 119 tahun, Pegadaian berusaha terus adaptif. Maka, program transformasi digital pun diayunkan.
Langkahnya sudah dimulai pada 2017. Fokus transformasinya pada perbaikan proses bisnis, penyediaan produk yang relevan dengan kebutuhan konsumen, dan pemanfaatan teknologi sebagai enabler. Untuk menunjang ketiga fokus tersebut, Pegadaian membuat satu divisi atau direktorat baru dengan cara kerja seperti perusahaan startup --dinamakan Transformation Office-- pada Oktober 2018.
Menurut Bhimo Hantoro, Senior VP Digital Transformation Pegadaian, perusahaaannya juga menerapkan model kerja agile agar lebih responsif dan fleksibel terhadap perubahan yang terjadi. “Kami pun mengubah strategi pendekatan bisnis, dari yang sebelumnya product-oriented menjadi customer-focused,” kata Bhimo. Untuk menjalankan strategi bisnis ini, dibutuhkan teknologi yang mumpuni. Karena itu, Pegadaian memanfaatkan pula big data analytics dan berbagai tools pendukung lainnya.
Bhimo menjelaskan, transformasi perlu dilakukan dari dua sisi, yakni internal dan eksternal. Pembenahan dari sisi internal diawali pada hal yang fundamental, yakni change management melalui perubahan pola pikir dan budaya. Kemudian, untuk menopang pola kerja baru, yakni digital, Pegadaian mengimplementasikan sistem Enterprise Resources Planning (ERP) dari SAP, menggunakan Jira Software dalam hal agile project management tool, serta sedang mencoba mengeksplorasi robotic process automation (RPA) dengan aplikasi UiPath.
Sementara dari sisi eksternal, Pegadaian terus meningkatkan inovasi baru berbasis digital. Salah satunya, menjalin kolaborasi dengan sejumlah marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan Shopee yang kini dalam tahap penjajakan. Kerjasama ini menawarkan kemudahan bagi konsumen untuk berinvestasi emas dalam bentuk tabungan. “Dengan memanfaatkan ekosistem digital, kami dapat memperluas jangkauan produk dan layanan serta segmen pasar Pegadaian secara online,” kata Bhimo, yang sebelumnya bekerja sebagai konsultan di Accenture Belanda.
Pegadaian juga mengembangkan Gadai Online, yakni layanan yang membantu nasabah untuk menggadaikan barangnya tanpa harus datang ke gerai fisik. Dalam hal ini, Pegadaian bekerjasama dengan perusahaan transportasi on-demand Gojek --dan selanjutnya juga dengan Grab-- untuk menjemput barang yang akan digadaikan. “Konsep layanan yang sudah ada sejak 2019 ini juga dapat menjadi sarana untuk meminimalkan kontak antara karyawan dan nasabah melalui pemanfaatan teknologi,” katanya.
Kemudian, layanan unggulan lainnya yakni aplikasi Pegadaian Digital Services. Aplikasi yang diluncurkan sejak 2017 ini memberikan kemudahan kepada nasabah melakukan berbagai transaksi, seperti membuka rekening Tabungan Emas, Cicil Emas, Gadai Online, Gadai Efek, mengajukan pembiayaan usaha, hingga membayar tagihan. Bhimo mengatakan, hingga saat ini aplikasi Pegadaian Digital Services sudah diunduh lebih dari dua juta pengguna.
Berdasarkan data pelanggan yang dikumpulkan Pegadaian, mayoritas nasabah yang datang ke gerai adalah perempuan di atas 45 tahun. Adapun pengguna digital service kebanyakan adalah laki-laki berusia di bawah 35 tahun. “Temuan ini cukup menarik sebab kami sempat melakukan riset internal terhadap nasabah, di mana sebenarnya yang ingin menggadaikan (barang) adalah suami, namun ada stigma yang tertanam kalau datang ke Pegadaian berarti sedang susah,” ungkap Bhimo. “Karena itu, kami ingin shifting dalam memberikan pelayanan, sebab hal ini terkait dengan aspek kultural di masyarakat,” katanya lagi.
Bhimo menjelaskan, Digital Transformation Roadmap Pegadaian dibagi ke dalam tiga fase dalam jangka lima tahun, 2018-2023. “Kami mencoba membangun fundamental digitalisasi proses bisnis atau disebut Digitize pada dua tahun pertama. Dua tahun berikutnya, fase Diversify, di mana kami meluncurkan berbagai produk baru berbasis digital. Dengan demikian, pada tahun 2013 kami sudah bisa pada fase Dominate,” ia memaparkan.
Saat ini, dikatakan Bhimo, Pegadaian sedang dalam fase transisi dari Digitize ke Diversify. Seiring dengan itu, Pegadaian secara bertahap akan mengubah portofolio bisnisnya dari yang saat ini komposisinya 80% gadai dan 20% non-gadai menjadi 60% gadai dan 40% non-gadai.
Pada kesempatan yang sama, Herdi Sularko, VP Digital Business Partnership & Development Pegadaian, mengatakan bahwa semua inisiatif digital yang dilakukan Pegadaian tidak akan berhasil tanpa adanya komitmen yang kuat dari top level management. “Pendekatan top-down memang penting, sehingga ketika kami melakukan berbagai inisiasi mendapatkan endorsement dari BoD yang kemudian dapat dieksekusi dengan lebih cepat,” kata Herdi.
Menurut Herdi, perubahan adalah suatu keniscayaan di mana aspek digital menjadi salah satu opsi atau cara. Namun di masa pandemi ini, ia meyakini bahwa digital is the only way, sehingga bukan lagi menjadi suatu opsi melainkan sebagai keharusan (mandatory). Karena itu, mulai dari aspek produk, channel hingga mindset, harus berorientasi digital.
Pegadaian menjadi salah satu dari sedikit perusahaan yang tetap mampu mencatat kinerja positif di masa pandemi. Dari segi jumlah nasabah, pada April 2020 perusahaan ini mencatat pertumbuhan nasabah sebanyak 14,73 juta orang, dan pada Mei 2020 sebanyak 14,90 juta orang.
Dari segi penjualan (omset), pada April 2020 Pegadaian berhasil mencetak Rp 53,90 triliun, dan terus meningkat pada Mei 2020 sebesar Rp 65,61 triliun. Adapun labanya, pada April 2020 sebesar Rp 1,13 triliun dan pada Mei 2020 sebesar 1,32 triliun.
Dilihat dari perkembangan yang telah dicapai, tampaknya langkah transformasi yang dijalankan Pegadaian sudah on the right track.§
Author : Jeihan K. Barlian