EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) memprediksi pertumbuhan kinerja industri pembiayaan atau multifinance akan terkontraksi sebesar dua persen hingga tiga persen pada tahun ini. Hal ini disebabkan dampak pandemi Covid-19 yang membuat multifinance dihadapkan penundaan pembayaran cicilan dan perpanjangan tenor pembiayaan dari para nasabah.
Ketua APPI Suwandi Wiratno mengatakan saat ini beberapa perusahaan pembiayaan mengalami kesulitan pendanaan. “Ini yang perlu kita diskusikan bersama, semoga perbankan dapat memberikan angin segar lagi kepada perusahaan pembiayaan yang memiliki tata kelola yang baik,” saat acara InfobankTalkNews Media Discussion 'Menakar Kekuatan Multifinance di Era New Normal: Menahan Goncangan Lewat Stimulus Kebijakan OJK', Rabu (12/8).
APPI mencatat berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2020, aset industri mengalami penurunan 1,42 persen secara year on year (YoY) menjadi Rp 507 triliun. Piutang pembiayaan juga mengalami penurunan 6,4 persen (YoY) menjadi Rp 420 triliun dan Non Performing Financing (NPF) melonjak ke level 4,1 persen.
Akibat kesulitan pendanaan dari perusahaan pembiayaan, lanjut Suwandi, turut berdampak terhadap industri otomotif yang menghentikan produksi. Suwandi mencontohkan krisis yang terjadi pada 2015 sampai 2018, kasus Kembang 88 Finance, Arjuna Finance sampai Sun Prima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) masih menghantui industri pembiayaan.
Kendati demikian, APPI telah menyiapkan beberapa strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut seperti efisiensi biaya, selektif memilih debitur dan mencari sumber pendanaan baik dari perbankan, nonbank, obligasi, pasar modal, dan lain sebagainya.
“Hal yang terpenting adalah seleksi debitur ke depan akan menjadi suatu perubahan pola tidak hanya saat new normal, tapi juga di industri keuangan ke depan. Sumber dana juga sesuatu yang sangat penting bagi perusahaan pembiayaan karena ini adalah darah dari perputaran bagaimana kita bisa bertumbuh. Kita bisa bertumbuh menjadi industri yang sangat besar tentu tidak terlepas dari dukungan perbankan,” ucapnya.
Sementara Chairman Infobank Institute Eko B Supriyanto menambahkan perusahaan multifinance yang melakukan restrukturisasi tetap harus mengantisipasi dengan baik agar debitur yang direstrukturisasi dapat pulih kembali.
“Memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang kontraksi, penjualan mobil dan rendahnya daya beli. Saya pun memperkirakan multifinance akan tumbuh minus 8 persen-10 persen,” ucapnya.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W Budiawan mengatakan pertumbuhan kinerja industri pembiayaan atau multifinance akan minus lima persen plus minus satu persen. Berdasarkan hasil monitoring OJK hingga 11 Agustus 2020, progress penerapan program restrukturisasi terhadap debitur yang terdampak Covid-19 mencakup 4.823.271 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp 150,43 triliun dan bunga sebesar Rp 38,03 triliun.
Adapun kontrak yang permohonannya masih dalam proses sebanyak 350.140 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp 16,34 triliun dan bunga sebesar Rp 3,90 triliun. Kemudian kontrak yang disetujui oleh perusahaan pembiayaan untuk dilakukan restrukturisasi sebanyak 4.187.726 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp 124,34 triliun dan bunga sebesar Rp 31,73 triliun.
Sedangkan kontrak yang permohonannya tidak sesuai dengan kriteria sebanyak 285.405 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp 9,75 triliun dan bunga sebesar Rp 2,40 triliun.
“Langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) secara masif,” ucapnya.
Namun, menurutnya restrukturisasi ini sejatinya bukanlah solusi terakhir karena setelahnya ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai perusahaan pembiayaan. Di tengah pengetatan likuiditas yang dialami perbankan sebagai source of funding terbesar perusahaan pembiayaan harus tetap mencari alternatif pendanaan lainnya.
“Lalu selain dari adanya restrukturisasi juga dari sisi cashflow akan susah bertumbuh kalau cashflow-nya masih kering akan sulit bagi bisnis mereka. Apalagi perusahaan pembiayaan ini 89 persen pendanaan dari pinjaman,” ucapnya.
OJK mencatat ada 144 perusahaan pembiayaan dari total 182 perusahaan pembiayaan yang memiliki pendanaan dari kreditur, sebanyak 26 di antaranya telah mengajukan restrukturisasi ke para krediturnya.
“Untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kinerja industri perusahaan pembiayaan terap positif, OJK berniat untuk memperpanjang program restrukturisasi karena pemulihan ekonomi kita ini akan sangat bergantung pada pemulihan kesehatan masyarakat,” ucapnya.