EKBIS.CO, JAKARTA – Pemerintah menetapkan batasan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan sebesar 5,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 971,2 triliun. Angka ini lebih besar dibandingkan keputusan pemerintah dengan DPR maupun Rapat Terbatas saat membahas Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2021 pada bulan lalu, yakni 5,2 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pelebaran tersebut dilakukan karena pemerintah melihat ketidakpastian yang masih berlangsung akibat pandemi Covid-19 sampai tahun depan. Dampaknya, belanja pemerintah terus ditingkatkan, sedangkan pendapatan berpotensi terus mengalami tekanan.
"Oleh karena itu, kebutuhan pemulihan dan ekspansi fiskal untuk mendorong pemulihan masih dirasakan penting," ujarnya dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2021 secara virtual, Jumat (14/8).
Dari sisi pendapatan, Sri mengatakan, pemerintah masih terus fokus untuk memberikan insentif dalam rangka pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, target pertumbuhan penerimaan negara memang dibuat tidak terlalu tinggi, yakni dari Rp 1.699 triliun pada tahun ini menjadi Rp 1.776 triliun pada tahun depan, atau naik sekitar tiga persen.
Di sisi lain, belanja mendorong akselerasi pemulihan ekonomi terus dilakukan. Khususnya dalam mendorong daya beli masyarakat paling rendah melalui pemberian bantuan sosial. Akses untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi melalui subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) juga terus dilakukan.
Selain itu, Sri menambahkan, dukungan program ke sektor terdampak seperti pangan dan pariwisata turut menjadi prioritas pemerintah tahun depan. Pada bidang pembiayaan, pemerintah melakukan restrukturisasi BUMN, Badan Layanan Umum (BLU) yang akan sejalan dengan pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) sesuai amanat Omnibus Law Cipta Kerja.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan, proyeksi defisit anggaran tahun depan memiliki peluang untuk kembali melebar dari RUU APBN 2021.
Potensi pelebaran disebabkan kebutuhan belanja pemerintah yang masih besar untuk memulihkan kembali ekonomi. Di sisi lain, tekanan pada penerimaan pajak masih akan dirasakan di tengah masa pandemi Covid-19.
"Apalagi, pemerintah belum bisa mengelaborasi bagaimana strategi menarik perpajakan di masa konsolidasi," tutur Yusuf ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (14/8).
Yusuf menilai, Omnibus Law Perpajakan bisa saja menjadi harapan pemerintah sebagai strategi untuk perpajakan. Hanya saja, sifat dari beleid ini juga berpotensi menghilangkan peluang penerimaan pajak karena adanya aturan penurunan tarif pajak.
Alhasil, Yusuf menjelaskan, upaya untuk mengembalikan track defisit anggaran ke tiga persen pada 2023 akan ditentukan strategi pemerintah dalam menarik pajak. "Khususnya di tengah kebutuhan belanja yang tinggi di masa konsolidasi ekonomi dalam dua tahun ke depan," katanya.