Warta Ekonomi.co.id, Jakarta
Perkembangan teknologi kian memudahkan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari, terlebih sejak pandemi Covid-19 melanda di triwulan pertama tahun ini yang memaksa semua orang membatasi aktivitas di luar rumah.
Hal tersebut kemudian menciptakan peluang yang menjanjikan bagi ekonomi digital, membuat setiap negara berlomba-lomba untuk membangun ekosistem ekonomi digital yang mumpuni.
Terkait industri digital saat ini, yang terjadi bukanlah persaingan antara negara maju dan negara-negara berkembang, tetapi justru hanya terkonsentrasi di dua negara AS dan China.
Baca Juga: Pemerintah Harus Format Ulang Kebijakan Pemulihkan Ekonomi
Baca Juga: Ngebet Cepat Pulihkan Ekonomi, RI Minta Bantuan Korsel hingga UEA
Berdasarkan Digital Economy Report 2019 oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), AS dan Tiongkok menguasai sekitar 90% nilai pasar dari 70 platform digital terbesar di dunia dan memiliki sekitar 75% dari semua paten terkait dengan teknologi blockchain.
Selain itu, mereka juga bertanggung jawab atas sekitar 50% pengeluaran global untuk Internet of Things (IoT) dan mendominasi 75% pasar komputasi awan. Lalu, apa yang bisa dilakukan negara lain untuk meruntuhkan pertahanan duopoli digital yang kian berkuasa ini?
Head of Telecom, Media & Technology Research, DBS Bank Singapore, Sachin Mittal mengatakan, persaingan digital didominasi oleh pemain dengan akses ke data konsumen atau big data, yang menghalangi pemain lokal yang lebih kecil untuk berkembang.
"Tidak seperti raksasa digital, pesaing yang kecil dan pemain lama tradisional tidak memiliki akses ke data pelanggan," kata Sachin dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (21/8/2020).
Sebagai ilustrasi, perusahaan mesin pencarian (search engine) disinyalir lebih mengutamakan layanannya sendiri ketimbang layanan pesaingnya, atau beberapa pemain perdagangan elektronik yang menggunakan algoritma data mereka untuk mengutamakan barang mereka sendiri ketimbang produk penjual pihak ketiga.
Saat ini, perusahaan teknologi besar sedang disoroti untuk memastikan apakah mereka secara tidak fair menggunakan aplikasi toko mereka untuk merugikan pesaing.
Tak berhenti sampai di situ, sambung dia, perusahaan teknologi besar seringkali melakukan akuisisi terhadap pesaing lebih kecil. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari potensi ancaman dari pesaing baru, bahkan jika memungkinkan, dilaksanakan sedini mungkin.
Salah satunya adalah Facebook yang mengakuisisi saingannya, Instagram, pada 2012, diikuti oleh WhatsApp pada 2014. "Akibatnya, akuisisi para startup lokal sejak dini yang banyak dilakukan oleh pemain besar menghalangi terciptanya efisiensi pasar," ungkap dia.