EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai Perpputentang Reformasi Keuangan dan revisi UU Bank Indonesia berpotensi mengamputasi independensi bank sentral secara permanen. Fadhil menuturkan UU Nomor 2 Tahun 2020 sebetulnya sudah membuat pincang karena BI tidak independen lagi dengan skema berbagi beban atau burden sharingyang disepakati dengan pemerintah, yang membeli surat utang negara di pasar perdana dengan bunga nol persen.
"Kini, perppu dan revisi UU BI akan menyebabkan independensi tidak hanya pincang, namun berisiko menjadi teramputasi secara permanen dari Bank Indonesia," ujar Fadhil dalam pernyataan di Jakarta, Kamis (3/9).
Padahal, lanjutnya, independensi bank sentral adalah amanah UUD 1945 Pasal 23D. Perppu dan revisi UU BI diperkirakan akan menjadikan bank sentral masuk menjadi bagian dari pemerintah sebagaimana peranannya kementerian lembaga (K/L) dalam kabinet.
Draf Pasal 9A dan 9B revisi UU BI juga disebutkan bahwa akan ada dewan moneter yang dipimpin Menteri Keuangan, yang bertugas mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan pemerintah di bidang perekonomian.
Bank Indonesia, lanjut Fadhil, tidak lagi secara independen dapat menilai apakah kondisi ekonomi dapat dinyatakan terjadi instabilitas keuangan sehingga menyebabkan diperlukannya atau tidak bantuan likuiditas terhadap bank sistemik.
Pasal 11 draf revisi UU BI pun menyebutkan bahwa BI dapat menyelamatkan bank sistemik yang gagal melalui fasilitas pembiayaan darurat yang tata cara dan ketentuannya harus sesuai dengan UU terpisah.
"Dalam hal ini Bank Indonesia dikesankan sebagai juru bayar (cetak uang) yang bebannya dikembalikan lagi ke Bank Indonesia dan pemerintah," ujar Fadhil.
Pendiri Narasi Institute itu mengingatkan bahwa Perppu 1 Nomor 2020 yang telah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut telah mencampuri independensi BI dalam pembelian surat utang negara (SUN) dan independensi dalam memberikan pinjaman likuiditas khusus (PLK) kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP/PLJPS) yang dijamin oleh pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK sesuai Pasal 16(1)(b) dan (c) & 18, 19 UU No.2/2020.
Ia menuturkan tergerusnya hak independen membeli SUN dan memberikan PLK tersebut menyebabkan Bank Indonesia sudah pincang dalam menjalankan tugasnya khususnya menjaga stabilitas keuangan.
Fadhil mengingatkan bila revisi UU BI dan Perppu Reformasi Keuangan dilanjutkan akan akan membuat stabilitas sistem keuangan dalam bahaya. Buktinya sekarang ini nilai tukar rupiah justru melemah di tengah penguatan nilai mata uang negara lain. Pasar telah merespons negatif rencana tersebut.
Fadhil menilai RUU dan Perppu tidak dilandasi oleh argumen ilmiah yang kuat dan hanya didorong oleh pertimbangan jangka pendek yang bersifat personal dan politis.
"Kami ingatkan jangan sampai ada kepentingan personal dan sekelompok orang ingin menguasai kelembagaan keuangan Indonesia. Kami merekomendasikan agar jangan terburu-buru terbitkan RUU dan PerppuReformasi Keuangan," kata Fadhil.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya fokus kepada penyelamatan ekonomi melalui stimulus ekonomi dan memastikan penyerapan anggaran lebih baik, bukan mengotak-atik kewenangan otoritas moneter yang sudah akomodatif terhadap kebutuhan ekonomi saat ini.
"Nyatanya, otoritas moneter telah menyetujui pembelian SUN di pasar perdana dan menanggung beban bersama terhadap SUN yang diterbitkan. Otoritas moneter sudah bekerja dan berhasil menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi dalam sembilan bulan terakhir ini," ujarnya.