EKBIS.CO, TOKYO -- Setelah lebih dari tiga abad berbisnis, department store Onuma di Kota Yamagata, Jepang bagian utara, memasuki masa bangkrut tahun ini. Onuma menjadi satu dari banyak toserba terkemuka di seluruh negeri yang dalam keadaan sulit akibat pandemi Covid-19.
Department store Jepang sudah lama menunjukkan tren penurunan seiring dengan perubahan kebiasaan berbelanja. Aula makanan mewah, barang mewah, fasilitas yang lengkap dan atraksi di rooftop kini telah ditinggalkan.
Saat ini, pandemi virus corona telah memaksa banyak dunia usaha ke kebangkrutan. Seperti dilansir Reuters, Senin (7/9), pengecer Amerika seperti Lord&Taylor dan Neiman Marcus juga sudah merasakan dampaknya.
Pada bulan lalu, Nakago yang berusia 146 tahun ‘menutup pintu toko’ terakhirnya yang tersisa di Kota Fukushima. Sementara, Izutsuya Co Ltd, sebuah jaringan toko di selatan kota Kita Kyushu, menutup satu dari dua toko utamanya.
Konsultan ritel Shuhei Yamashita mengatakan, semua orang sepakat, penutupan banyak gerai ritel ini sangat mengecewakan. "Tapi, kenyataannya, orang-orang tidak lagi berbelanja di toko belakangan ini," ucapnya.
Di Yamagata, masa depan toserba Onuma masih belum jelas. Beberapa penduduk setempat tampaknya pasrah dengan kegagalan Onuma, mengatakan. Mereka menilai, toserba tersebut gagal mengikuti perubahan gaya hidup, termasuk munculnya ritel online dan jaringan transportasi yang lebih cepat ke kota-kota besar.
Untuk saat ini, perusahaan Yamashita membantu mempertahankan Onuma tetap buka toko sampai akhir September. Namun, aula makanan sudah ditutup dan pembeli dibatasi untuk melihat penawaran barang-barang rumah tangga serta pakaian yang sudah dikeluarkan dari berbagai gudang.
Ritel Terus Tertekan
Pada tahun ini, penjualan ritel terus anjlok seiring dengan kecemasan konsumen untuk berbelanja dan melakukan pariwisata di tengah pandemi. Penjualan industri turun seperlima pada Juli, dibandingkan tahun sebelumnya. Pembuat kebijakan cemas, lebih banyak penutupan toko dan kebangkrutan.
Sebelum kesengsaraan tahun ini, department store Jepang telah berjuang keras untuk bertahan. Mereka menjual barang-barang seperti kimono seharga 10 ribu dolar AS dan peralatan makan mewah untuk mempertahankan keuntungan, bahkan ketika selera konsumen beralih ke barang-barang yang lebih informal. Pada saat yang sama, konsumen juga banyak berpindah ke belanja online.
Jumlah penjualan dan toko di seluruh industri telah anjlok 30 persen sejak 1999. Beberapa dari 203 department store di Jepang secara drastis mempersempit ruang jualan mereka dan membawa masuk penyewa (tenant) lain.
Ritel dan jaringan nasional besar di kota-kota besar lainnya juga tidak kebal. Isetan Mitsukoshi Holdings Ltd, misalnya, telah menutup beberapa toko selama dekade terakhir. Menurut perusahaan, mereka akan menutup toko Mitsukoshi di pusat kota Tokyo pada tahun depan.
Prospek toko regional dan implikasinya yang besar bagi ekonomi lokal menjadi penyebab kekhawatiran pemerintah terhadap tren kebangkrutan saat ini. Belum lagi saat melihat dampak ritel terhadap lapangan pekerjaan, terutama pekerja muda.
Pembuat kebijakan resah, kegagalan department store dapat menjadi benih krisis dan memperburuk rasa sakit yang dirasakan seluruh ekonomi lokal. Dampaknya, pemberi pinjaman skala regional pun tidak akan mampu mengatasi peningkatan kredit macet (NPL).
Seorang pejabat pemerintah dengan keahlian di bidang keuangan daerah mengatakan, penutupan department store akan membebani harga properti dan pekerjaan. "Serta banyak aspek lain dari ekonomi regional yang sudah melemah," tuturnya, tanpa menyebutkan nama.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga, calon utama perdana menteri Jepang baru bulan ini, telah menjadikan revitalisasi ekonomi regional sebagai prioritas kebijakan utama.