EKBIS.CO, SLEMAN -- Pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta menuai tentangan dari sejumlah pihak. Sebab, dianggap membawa dampak buruk perekonomian nasional, termasuk pengusaha kecil dan menengah.
Ekonom UGM Rimawan Pradiptyo berpendapat, pemberlakuan PSBB kali ini tidak akan sampai menghentikan roda perekonomian di Indonesia, serta tidak akan memberikan dampak sebesar saat pemberlakuan PSBB pertama pada April lalu.
"Sebenarnya sudah ada adaptasi setelah PSBB pertama. Ketika kini ada PSBB kedua saya merasa lebih optimistis karena kita sudah melewati learning process," kata Rimawan melalui siaran pers, Senin (14/9).
Ketika pemberlakuan PSBB pertama, masih banyak masyarakat dan pelaku usaha yang belum bisa sepenuhnya melakukan adaptasi. Termasuk, adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang muncul akibat pandemi Covid-19.
"Yang terjadi pada Maret-Mei lalu dalam banyak hal semua masih meraba-raba, masih mencoba mana yang bisa jalan, mana yang tidak. Tapi, sekarang saya kira semua sudah mulai tahu apa yang dapat dilakukan," ujar Rimawan.
Terkait kekhawatiran terhadap nasib UMKM, ia mengatakan, justru UMKM itulah yang akan bisa bertahan pada masa krisis. Sebab, sudah terbiasa menjalankan usaha secara dinamis di tengah-tengah kondisi pasar yang tidak menentu.
Bahkan, lanjut Rimawan, banyak usaha baru yang justru muncul selama pandemi berlangsung. Layanan pembelian bahan makanan secara daring, serta jasa penyelenggara acara pernikahan secara virtual sudah menjadi contohnya.
Mereka jadi peluang usaha yang muncul dan malah berkembang beberapa bulan belakangan sebagai hasil proses pembelajaran, dan adaptasi dengan kondisi yang baru. Bahkan, virtual wedding menggerakkan delapan sektor ekonomi.
Keberadaan UMKM yang menyumbang sekitar 60 persen perekonomian nasional justru jadi keunggulan tersendiri yang dimiliki Indonesia. Termasuk, jika dibandingkan negara-negara maju yang lebih banyak mengandalkan industri besar.
Untuk mengaktifkan perekonomian, pemerintah disarankan lebih mendorong sektor UMKM. Ia juga menilai, perlu ada perubahan dari key performance indicator yang lebih diarahkan ke pencapaian outcome, dan bukan penyerapan anggaran.
"Penyerapan anggaran dari Rp 700 triliun hanya dua puluh persen. Ini yang keliru dari cara berpikir selama ini, pemerintah memberi stimulus fiskal secara makro, padahal tingkat mikro proses bisnis sudah berubah 180 derajat," kata Rimawan.
Selama masa pandemi, masyarakat maupun pemerintah perlu bersikap realistis dengan tidak memiliki ekspektasi yang berlebihan. Serta, menyadari kalau pola pikir dan kebijakan yang lama tidak lagi relevan untuk diterapkan.
"Kita harus memahami jika sekarang semua negara mengalami kondisi yang sulit. Mari menata ekspektasi, jangan lagi bicara high growth rate, tapi bagaimana caranya bisa bertahan melewati situasi yang ada," ujar Rimawan.
Pemerintah tingkat pusat dan daerah perlu saling mendukung agar hasilkan kebijakan jelas dan konsisten. Ini penting karena kepercayaan masyarakat akan ditentukan integritas, transparansi dan kebijakan yang fokus ke hasil.