EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menyebutkan, penerimaan pajak tahun ini kemungkinan meleset dari target. Tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang berdampak pada seretnya setoran pajak sampai saat ini menjadi penyebabnya.
Sampai dengan akhir Agustus, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 676,9 triliun atau 56,5 persen terhadap target dalam postur APBN terbaru, Rp 1.198 triliun. Realisasi ini tumbuh negatif 15,6 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. "Bisa jadi lebih rendah dari target," ujar Febrio dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (25/9).
Kontraksi penerimaan pajak pada bulan lalu yang mencapai 15,6 persen juga sudah melebihi harapan pemerintah. Dalam postur APBN 2020 terbaru yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020, penerimaan pajak ditargetkan ‘hanya’ terkontraksi 10 persen dibandingkan tahun lalu.
"Sekarang ini sudah lebih dalam dari itu (target kontraksi penerimaan pajak). Memang berat," tuturnya.
Febrio mengatakan, data sampai akhir Agustus akan menjadi poin penting bagi Kemenkeu. Khususnya, bagaimana untuk menggenjot penerimaan pajak secara maksimal pada empat bulan terakhir menjelang pergantian tahun.
Febrio belum bisa menyebutkan, perkiraan penerimaan pajak yang terbaru. Sebab, sampai dengan saat ini, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus bekerja keras untuk mencapai target itu melalui extra effort meskipun terkendala pandemi Covid-19. "Kami belum bisa sebutkan angka (proyeksi terbaru) karena terus digenjot," katanya.
Apabila memang harus shortfall, Febrio berharap, perbedaannya dengan target tidak terlalu jauh. Ia menambahkan, potensi besaran shortfall biasanya baru akan ketahuan pada Desember atau menjelang akhir tahun. Pada saat itu, DJP bisa mengejar setoran yang luar biasa besar.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, Pajak Penghasilan (PPh) Migas maupun non migas menjadi kontribusi besar pada penurunan penerimaan pajak tahun ini. Dua indikator tersebut yang membuat kemungkinan kontraksi penerimaan bisa lebih dalam dari perkiraan. "(Kontraksi) agak lebih tinggi dari ekspektasi kami, yang awalnya diharapkan kontraksi penerimaan tidak lebih dari 10 persen," ucapnya dalam Konferensi Pers Kinerja APBN secara virtual, Selasa (22/9).
Apabila dilihat dari jenisnya, Kemenkeu mencatat, hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi pada periode Januari hingga Agustus 2020. Sebut saja PPh non migas yang kontraksi 15,2 persen dibandingkan tahun lalu dan Pajak Pertambahan Nilai yang tumbuh negatif 11,6 persen.
Sri mengatakan, realisasi itu disebabkan oleh perlambatan kegiatan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Bahkan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tahun lalu dapat tumbuh 95 persen, kini tumbuh negatif 33,7 persen. "Ini menggambarkan secara tidak langsung kegiatan ekonomi mengalami pelemahan cukup dalam di setiap daerah," tuturnya.