EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom senior Institute Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menyebutkan, tantangan perbankan pada tahun depan masih berat. Khususnya apabila pandemi Covid-19 masih belum tertangani dengan baik.
Salah satu tantangan tersebut adalah likuiditas yang berlebih. Bank mendapatkan penempatan dana besar dari masyarakat karena dua hal. Pertama, masyarakat kelas menengah atas belum berani belanja atau cenderung mengurangi konsumsi dan memilih menyimpan uang di bank.
Selain itu, perusahaan juga menempatkan dana untuk mempersiapkan apabila harus menghadapi tekanan ekonomi yang panjang akibat pandemi. "Dua faktor ini menyebabkan pertumbuhan dana masyarakat sangat tinggi," tutur Aviliani dalam Webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021: Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi, Rabu (18/11).
Sementara itu, pertumbuhan kredit masih tertahan. Aviliani memproyeksikan, pertumbuhan kredit pada 2020 hanya berada di level satu persen dan tumbuh tipis ke tiga persen pada tahun depan. Padahal, kredit merupakan 75 persen kontributor terhadap pendapatan perbankan.
Tantangan berikutnya yang dihadapi perbankan adalah digitalisasi. Aviliani menjelaskan, pandemi menuntut akselerasi digital yang terlampau cepat dibandingkan proyeksi semula. Generasi ‘kolonial’ yang belum pernah menggunakan m-banking pun kini dipaksa untuk beralih seiring dengan pembatasan aktivitas tatap muka atau fisik.
Dengan tren itu, Aviliani menjelaskan, terjadi percepatan kebutuhan investasi di sektor digital. Sedangkan, total bank yang mempunyai kemampuan investasi tidak banyak. Dampaknya, akan banyak bank yang ketinggalan.
Aviliani menganjurkan pemerintah untuk membuat regulasi yang memungkinkan bank-bank kecil membuat kelompok usaha bank. "Harus ada regulasi bagaimana bank tidak banyak yang tumbang. Ini perlu jadi perhatian," katanya.
Regulasi juga dibutuhkan untuk meningkatkan kolaborasi perbankan dengan teknologi finansial (tekfin). Sebab, meskipun tekfin sudah berkembang signifikan, mereka kurang dilibatkan dalam ekosistem inklusi keuangan yang menyebabkan banyak perusahaan kecil mati satu persatu.
Tantangan berikutnya, potensi kredit macet pasca regulasi relaksasi kredit. Aviliani menjelaskan, kredit senilai Rp 1.000 triliun kini sudah mengajukan restrukturisasi dengan loan interest sekitar 23 persen.
Tapi, ketika proses relaksasi selesai pada dua tahun depan, kredit tersebut belum tentu kembali ke perbankan. Aviliani menjelaskan, 10-20 persen saja yang macet, dapat mempengaruhi reputasi sektor perbankan pasca relaksasi. "Ini harus ada jalan keluar," ujarnya.