Senin 28 Dec 2020 11:17 WIB

2020, Tahun Berbagi Beban untuk Selamatkan Ekonomi

Skema burden sharing menyebabkan terjadinya defisit neraca BI pada 2021.

Red: Friska Yolandha
Tahun 2020 mungkin benar-benar tahun yang suram dan ingin dilupakan oleh seluruh insan manusia di muka bumi karena adanya kejadian luar biasa pandemi Covid-19. Segala harapan dan impian berganti dengan ketidakpastian dan fantasi kelam, sejak wabah yang diduga berasal dari Wuhan, China, menyebar secara cepat dan menginfeksi manusia yang lalai menjaga kebersihan.
Foto:

Risiko

Di negara dengan tingkat ekonomi maju seperti AS dan Jepang, langkah burden sharing ini tidak dilakukan, karena mereka melakukan kebijakan Quantitative Easing (QE) serta monetisasi utang pemerintah secara advance atau lebih maju. Untuk itu, bagi emerging market, termasuk Indonesia, penerapan burden sharing harus dilakukan sesuai prinsip kehati-hatian dan tata kelola, karena memiliki kondisi yang berbeda dengan negara maju.

Prinsip kehati-hatian tersebut juga dilakukan dalam rangka menjaga perekonomian nasional secara keseluruhan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang terutama di situasi luar biasa saat ini. Setidaknya terdapat tiga risiko yang bisa menjadi perhatian pemerintah bersama BI dalam kebijakan pembiayaan ini yaitu peningkatan bunga utang, pelebaran defisit neraca BI dan rendahnya penyerapan anggaran.

Berdasarkan proyeksi, pembayaran bunga utang dan cicilan pokok berpotensi meningkat hingga 17 persen belanja negara, atau lebih tinggi dari sebelum adanya Covid-19 yaitu sekitar 12 persen. Kemudian, skema burden sharing secara khusus juga dapat menyebabkan terjadinya defisit neraca BI pada 2021 hingga Rp 21,8 triliun, mengingat kebijakan ini dapat diteruskan hingga 2022.

Pekerjaan Rumah selanjutnya adalah memastikan pembiayaan ini dapat terserap maksimal oleh pihak-pihak terkait mengingat penanganan pandemi dan kelanjutan ekonomi sangat tergantung dari efektivitas belanja.

Hingga 14 Desember 2020, belanja penanganan Covid-19 dan PEN baru mencapai Rp 483,62 triliun atau sekitar 69,6 persen dari pagu Rp 695,2 triliun. Jumlah ini masih belum ideal, meski belanja tidak terserap bisa di-carry over ke 2021.

Selain itu, reformasi dalam segi perpajakan juga harus terus menerus dilakukan demi APBN yang lebih sehat, karena tidak ideal rasanya bergantung pada pembiayaan dengan skema pinjaman. Di luar persoalan pembiayaan, tentunya penanganan kesehatan dengan penerapan 3 M menjadi kunci penting, mengingat ekonomi tidak bisa berjalan normal, selama aktivitas masyarakat masih terbatas dan vaksin belum distribusikan.

Tantangan lanjutan adalah mengantisipasi munculnya virus Covid-19 dalam varian baru yang membuat negara-negara Eropa kembali menerapkan lockdown serta penanganan yang melambat hingga pemulihan tidak terjadi secara cepat.

 

Pandemi di 2020 ini merupakan pelajaran bagi pemangku kepentingan agar bijak dalam mengambil keputusan di 2021, apalagi kesalahan penanganan dan kesimpangsiuran informasi terbukti bisa menimbulkan sumber ketidakpastian baru. Terakhir, dalam kondisi saat ini, partisipasi masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan juga diperlukan untuk mengurangi beban tenaga medis yang telah berjuang sejak awal pandemi.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement