Sabtu 09 Jan 2021 23:54 WIB

Pakar IPB University Usulkan Pengembangan Kedelai Estate

Kedelai estate  itu diusulkan di Sumatera dan Kalimantan.

Red: Irwan Kelana
Petani kedelai tengah memanen hasil tanamannya.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Petani kedelai tengah memanen hasil tanamannya.

EKBIS.CO, BOGOR -- Meningkatnya harga kedelai impor menjadi kabar tidak membahagiakan bagi Indonesia sebagai negara yang khas dengan konsumsi tahu dan tempe. Harga kedelai lokal yang lebih mahal dibandingkan dengan kedelai impor menyebabkan pengrajin tahu dan tempe lebih memilih produksi dengan kedelai impor. Hal ini berakibat fatal karena harga yang tidak dapat dikendalikan dapat menekan produsen tahu dan tempe lokal.

Membahas tentang kedelai, Dr Basuki Sumawinata, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL), Fakultas Pertanian  turut memberikan pandangannya.

"Volume impor biji kedelai saat ini sudah demikian besar yakni 3,6 juta ton. Maka diperlukan lahan yang skalanya ratusan ribu atau juta hektar. Sementara itu, produksi kedelai Indonesia saat ini rata-rata berkisar 1,5 ton/hektar, berbeda dengan USA yang produksi kedelainya rata-rata 3 ton/hektar," ujar Pengurus Pusat Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) ini dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (9/1).

Lahan pertanian di Pulau Jawa sudah tidak bisa dikembangkan lagi, sehingga menurut Dr Basuki, perlu pengembangan kedelai estate yang mau tidak mau harus ke luar Pulau Jawa, dalam hal ini baru direncanakan di Sumatera dan Kalimantan. Sementara itu, ada kendala berupa tanah yang masam serta lahan dengan tingkat keawanan tinggi yang menyebabkan kedelai memerlukan investasi yang jauh lebih besar dan kondisi produksi tidak optimal.

"Tentu di dalam menjalankan operasinya, estate kedelai ini perlu didukung sejumlah besar sumberdaya manusia.  Semua itu membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Barangkali pemilihan pola tanam yang tepat dapat menghasilkan profit yang optimal yang memungkinkan estate ini tetap bertahan,” terangnya.

Ia juga menyampaikan bahwa kedelai membutuhkan lama penyinaran yang cukup maka pemilihan lokasi menjadi sangat penting. Hal tersebut terjadi karena Indonesia merupakan negara tropis yang sering berawan sehingga lama penyinarannya lebih pendek daripada USA. Sehingga produksi kedelai di Indonesia belum bisa optimal.

Hal lainnya yang perlu diketahui adalah kelerengan lahan perlu dipilih dengan baik karena kedelai yang akan dikembangkan secara skala estate tentu harus dipikirkan sejak awal bahwa lahan tersebut akan dikerjakan secara mekanisasi. Pekerjaan mengolah tanah, menanam benih, pemupukan sampai perawatan tanaman seperti pengendalian hama serta pemanenan harus dikerjakan secara mekanisasi. Sarana irigasi juga perlu direncanakan untuk menghindari bahaya kekeringan.

Mengenai masalah kesuburan tanah, kata dia,  ada beberapa langkah awal produksi yang perlu ditangani sejak dini. Yaitu masalah pH dan keracunan aluminium pada tanah. Hal ini disebabkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang peka terhadap keracunan aluminium. Maka tindakan meredam pengaruh buruk dari ion Al tersebut perlu dilakukan yakni dengan cara mengendapkannya.

"Pemberian sisa tanaman, kompos pada lahan adalah tindakan yang harus dilakukan secara terus menerus. Selain itu, pemupukan nitrogen, fosfor, kalium serta unsur hara mikro perlu terus menerus dievaluasi, baik dari tanah maupun pada fase penanaman untuk mendapatkan hasil optimum," tutupnya. (SMH)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement