EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah berencana menghilangkan bantuan subsidi upah dan mengurangi insentif tenaga kesehatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Sebagai gantinya, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp 20 triliun untuk Kartu Prakerja.
Menurut Ekonom Indef Bhima Yudhistira, alokasi anggaran yang salah dapat membuat pemulihan ekonomi berjalan lambat. Pemerintah seharusnya fokus dalam tiga hal yakni belanja kesehatan (insentif tenaga kesehatan dan penambahan fasilitas kesehatan), belanja perlindungan sosial (termasuk bantuan subsidi upah) dan insentif untuk pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Insentif nakes yang dipangkas, ini artinya pemerintah kurang fokus dalam penanganan Covid, harusnya insentif nakes dan fasilitas kesehatan ditambah. Kalau kemudian alokasinya anggarannya salah, pemulihan ekonomi relatif lambat," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Kamis (4/2).
Bantuan subsidi upah dinilai akan memberikan multiplier effect, karena langsung dikonsumsi dan tidak melalui birokrasi yang rumit seperti Kartu Prakerja. Menurutnya, Kartu Prakerja akan lebih banyak biaya operasionalnya dibandingkan yang diterima oleh penerima bantuan.
"Yang harusnya dilakukan pemerintah itu justru BSU itu diperluas ke pekerja informal yang tidak memiliki akun BPJS tenaga kerja, besarannya juga dinaikkan," kata Bhima.
Selain itu, pengawasan subsidi upah juga dinilai lebih gampang dibandingkan program bantuan sosial lainnya, seperti yang berbentuk barang. Subsidi upah lebih mudah dipantau karena ditransfer melalui perbankan.
Untuk penambahan alokasinya, pemerintah seharusnya memangkas anggaran di infrastruktur. Melihat hal tersebut, Bhima menyarakan agar pemerintah melakukan evaluasi kembali terkait efektivitas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sepanjang 2020.
"Program yang terbukti tingkat efektivitas tinggi dan langsung berdampak terhadap konsumsi rumah tangga itu yang harus didukung dan diprioritaskan," kata Bhima.