Kamis 18 Mar 2021 09:38 WIB

Tekanan Eksternal Meningkat, BI Disarankan Tahan Suku Bunga

BI harus lebih berhati-hati terhadap peningkatan risiko eksternal.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Suku bunga Bank Indonesia
Foto:

Setelah melalui periode apresiasi sejak November tahun lalu, Rupiah mulai terdepresiasi kembali menjadi Rp 14.400 pada minggu keempat Februari dari sekitar Rp 14 ribu pada minggu sebelumnya. Kondisi pelemahan Rupiah terutama didorong oleh kondisi pasar AS yang tidak terduga.

Pasar cukup terkejut pada akhir Februari karena tingkat inflasi yang lebih baik dari perkiraan di AS mencerminkan prospek pemulihan yang optimis setelah pandemi Covid-19. Inflasi yang lebih tinggi ditambah dengan paket stimulus Biden, sebesar 1,9 triliun dolar AS, telah menciptakan gejolak besar di pasar obligasi AS.

Terlepas dari tanda-tanda pemulihan ekonomi yang membaik dan lebih cepat di AS, kekhawatiran pasar akan lonjakan inflasi lebih lanjut karena kondisi ekonomi yang lebih baik telah memicu aksi jual besar-besaran di pasar obligasi AS sejak Februari.

"Kondisi tersebut mendorong investor memindahkan asetnya dari obligasi ke aset lain yang tidak terlalu rentan terhadap inflasi dan biaya pinjaman utang," katanya.

Akibatnya, rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun naik ke level sebelum pandemi di 1,6 persen pada pertengahan Maret. Kenaikan imbal hasil obligasi AS mendorong dolar AS ke level yang lebih tinggi dan menahan minat investor pada pasar negara berkembang karena semakin menipisnya perbedaan imbal hasil.

Alhasil, obligasi berdenominasi mata uang lokal di pasar negara berkembang mengalami volatilitas tertinggi di minggu ini di tahun 2021. Terlepas dari sentimen positif ekonomi Indonesia, yang ditunjukkan oleh peningkatan IKK dan perbaikkan kasus harian Covid-19, dampak negatif justru didorong oleh arus modal keluar yang masif.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement