Pemilik 6 paten di industri migas ini juga mengungkapkan, dengan berbagai risiko yang tinggi dan biaya yang sangat besar, kesuksesan dari pembangunan smelter HPAL di dunia tidak terlalu tinggi.
"Apakah semua yang dibangun bisa beroperasi sesuai harapan? Apakah rencana Capex dan Opex tidak melebihi budget yang disetujui? Apakah komposisi mineral dari biji nikel sesuai dengan yang direncanakan? Dari data yang kami pelajari, tingkat kesuksesan dari smelter HPAL tidak lebih dari 25 persen," ungkapnya.
Namun, Arcandra juga mengakui, smelter HPAL punya keunggulan. Salah satunya adalah bisa menggunakan biji nikel kadar rendah (limonite) sebagai feedstock nya. Sebelum NPI banyak dibutuhkan di China, biji nikel kadar rendah yang berada di lapisan atas banyak yang dibuang sebagai overburden. Biji nikel jenis limonite ini juga kaya akan Co (cobalt) yang dibutuhkan untuk katoda baterai jenis Nickel Manganese Cobalt (NMC).
Apakah ada teknologi selain HPAL yang mungkin lebih unggul dan dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Secara teori tentu ada? Menurut Arcandra para praktisi dan inovator sedang giat-giatnya untuk menemukan teknologi yang dimaksud. Sayangnya tidak ada jalan pintas untuk mendapatkannya selain memulai dengan kemampuan yang kita punya, kemudian bersungguh-sungguh mencari teknik dan formula terbaik.
"Strategi itu dimulai dengan mengetahui komposisi mineral biji nikel yang tersedia, lakukan laboratory test untuk metoda dan teknologi ekstrasi yang direncanakan. Selanjutnya lakukan pilot test dan baru memulai dengan membangun smelternya. Setiap proses memerlukan waktu dan setiap waktu memerlukan tenaga dan biaya. Tidak mudah," tutupnya.