Berdasarkan data-data tersebut, terjadi ketimpangan yang begitu menganga antara potensi zakat dan realisasi penghimpunannya yang berhasil dihimpun oleh Organisasi Pengelola Zakat. Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dengan hampir 87.5% penduduk Muslim.
Ketimpangan antara potensi dan realisasi zakat berkisar pada 0.06% pada tahun 2011, 0.068% pada tahun 2012, 0.075% pada tahun 2013, 0.089% pada tahun 2014, dan 0,09% pada tahun 2015 (Setiawan, 2018).
Karena potensi yang besar itu dan masih adanya ketimpangan dalam jumlah zakat yang terhimpuan, maka Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Cinta Zakat di Istana Negara. Gerakan tersebut dinilai dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan zakat, infak, dan sedekah. Selain itu penyaluran zakat juga dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi kemiskinan.
"Gerakan Cinta Zakat" ini sejalan dengan program pemerintah yang memiliki kerja yang sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan, menangani musibah dan bencana, serta menuntaskan program-program SDGs," ujar Jokowi dalam sambutannya, (Kontan, 15/4).
"Saya harapkan dana zakat yang dihimpun oleh BAZNAS ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk membantu saudara-saudara kita yang mengalami kesulitan-kesulitan akibat pandemi Covid-19, dan juga untuk membantu mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh di negara kita," ungkapnya.
Harapan Presiden Joko Widodo patut untuk disambut secara positif oleh para stakeholder zakat. Faktanya, wabah pandemi Covid-19 masih berlangsung.
Bahkan jika tidak hati-hati bukan tidak mungkin akan terjadi tsunami Covid-19 gelombang kedua seperti di India. Naudzubillahi mindzalik, sesuatu yang sangat tidak diharapkan terjadi, dan perlu kedisiplinan kita semua dalam menerapkan protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan rajin mencuci tangan.
Begitu banyak masyarakat, khususnya umat Islam, yang terdampak ekonominya akibat wabah pandemi ini. Dana zakat, infak dan sedekah dapat didayagunakan secara optimal untuk menanggulangi dampak pandemi.
Sehingga akan membantu meringankan sesama. Namun tentu saja harus tetap sesuai dengan ketentuan syariat penerima zakat, yakni delapan golongan penerima zakat (mustahik), sebagaimana dijelaskan dalam surat at Taubah ayat 60.
Namun jumlah umat Islam yang besar jangan hanya dimanfaatkan dana umatnya saja. Ibarat daun salam yang digunakan untuk masakan opor ayam untuk dinikmati bersama ketupat lebaran saat perayaan Idul Fitri. Giliran mau menikmati opor ayam ketupat lebaran, daun salam dibuang duluan, karena dianggap mengganggu kenikmatan.
Karena itu, potensi dana umat yang besar, baik zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah dan dana sosial lainnya harus diimbangi pula dengan pengelolaan yang transparan dan akuntabel, serta keberpihakan yang tinggi terhadap seluruh umat Islam. Sehingga akan melahirkan kepercayaan yang tinggi dari umat Islam.
Hal ini penting agar tak ada lagi nyinyiran ; “giliran butuh dana umat didekati, tapi setelah dananya dapat dicampakan”. Riset Pew Research Centre pada tahun 2012 menyebutkan, sebanyak 98 persen responden penduduk Muslim Indonesia mengaku menunaikan zakat. Namun, realisasi penghimpunan masih di bawah lima persen, karena mayoritas membayar langsung ke penerima zakat.
Memang tak mudah mewujudkan kepercayaan umat, namun kita harus optimis bahwa seiring dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia, kemajuan teknologi informasi dan kesadaran berderma yang terus meningkat, insha Allah potensi dana umat, khususnya zakat dapat digali secara maksimal. Wallahualam.