EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonomi digital di Indonesia telah berkembang pesat selama lima tahun terakhir. Berdasarkan data dari Digital Economy Summit 2020, nilai ekonomi digital Indonesia diestimasi berkembang tiga kali lipat dari 40 miliar dolar AS pada 2019 menjadi 130 miliar dolar AS pada 2025.
Adapun nilai tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan pertumbuhan yang paling cepat. Namun, level adopsi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) di Indonesia belum menyeluruh pada setiap industri.
Menurut penelitian dari McKinsey & Company, adopsi tertinggi penggunaan AI ada di industri telekomunikasi, manufaktur, transportasi, logistik, dan edukasi. Padahal, AI dapat diterapkan di setiap industri yang berhubungan dengan jasa, termasuk sektor keuangan dan perbankan.
CEO & Co-Founder Neuro.net Inc. Nikolay Kravchuk mengatakan teknologi otomasi berbasis AI memainkan peran penting dalam transformasi digital setiap negara, termasuk di Indonesia. Sebagai startup pengembang AI, Neuro.net mengklaim bahwa perusahaan-perusahaan skala besar tengah mempelajari transformasi digital dan adopsi teknologi baru, khususnya pada praktik percakapan yang digerakkan oleh AI (conversational AI).
Perusahaan yang memiliki pusat R&D di Eropa Timur ini juga menjalin kerja sama dengan beberapa mitra bisnis untuk menjajaki penerapan percakapan berbasis AI dalam skala yang lebih besar. “Indonesia punya potensi besar untuk meningkatkan adopsi inovasi AI, terutama di sektor keuangan dan perbankan yang kini terlihat sangat berkembang," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (20/5).
Menurut Kravchuk potensi ini diikuti oleh karakter konsumen yang sangat loyal. Hal ini juga cukup memberikan tekanan tambahan bagi setiap institusi keuangan dan perbankan untuk meningkatkan lagi standar dalam pelayanan pelanggan.
Adapun beberapa tantangan dalam memberikan pengalaman pelanggan terbaik adalah kemampuan untuk mengoptimalkan Contact Center. Ketika pelanggan menuntut pelayanan lancar dan selalu siaga 24 jam sehari, hal ini bisa berdampak pada kualitas kerja agen manusia di dalamnya.
"Agen manusia lebih terpapar pada risiko human error, emosi, belum lagi ketidakmampuan untuk mengikuti skrip dan bekerja secara omnichannel, ” kata Kravchuk.
Implementasi kecerdasan buatan pada solusi percakapan umumnya digunakan untuk beberapa fungsi seperti menjawab pertanyaan nasabah,menghubungkan nasabah dengan produk keuangan yang tepat. Hebatnya lagi, agen virtual bisa menjalankan interaksi dua arah dengan pelanggan ketika ada transaksi mencurigakan.
“Pelanggan tidak hanya bisa mendengarkan informasi, tapi bisa langsung mengonfirmasi atau menolak transaksi, dan langsung bertanya pada agen virtual. Pekerjaan dasar ini dapat dialihkan ke agen virtual karena mereka sudah dibekali kemampuan untuk melakukan ratusan ribu panggilan setiap hari selama 24 jam dalam satu minggu,” ungkapnya.
Selain itu, agen virtual ini dapat berkomunikasi secara natural kepada konsumen seperti membangun perbincangan dasar sampai yang yang kompleks sekalipun, memberikan solusi untuk nasabah, sampai menyesuaikan intonasi dan jeda bicara.