Senin 24 May 2021 10:09 WIB

Pro-Kontra Rencana Penerapan Tax Amnesty Jilid II

Presiden Jokowi meminta DPR merevisi UU mengenai tax amnesty.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Sejumlah pedagang mengikuti program amnesti pajak. ilustrasi
Foto:

Banyak pengemplang pajak

Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati meminta kepada pemerintah untuk membatalkan rencana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan dan melihat wajib pajak yang patuh honest taxpayer.

Menurutnya, pembayar pajak yang patuh tentu akan merasa kecewa karena tidak merasa diuntungkan dengan adanya kebijakan yang kembali diulang ini. Nantinya, tingkat kepatuhan pajak pada masa mendatang juga akan menurun seiring dengan mudahnya pemerintah menggulirkan tax amnesty.

"Selain kecewa, pembayar pajak yang jujur juga takut bahwa pendapatan negara yang hilang akibat tax amnesty akan menjadi beban pajak bagi mereka pada masa yang akan datang. Hal ini bisa mendorong para pembayar pajak yang jujur agar ikut melakukan pengemplangan," kata Anis menegaskan.

APBN masih minus

Anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi Nasdem Fauzi Amro mengatakan, tax amnesty jilid II kurang tepat saat anggaran pendapatan belanja negara (APBN) masih minus.

“Justru, perlu ada tambahan pemasukan dari sektor pajak sehingga pemasukan dari sektor perlu digenjot, bukannya dipangkas,” katanya.

Ketua Kelompok Fraksi Nasdem Komisi Keuangan ini menjelaskan, berdasarkan data Kementerian Keuangan per akhir November, penerimaan negara sebesar Rp 1.423 triliun dan belanja negara sebesar Rp 2.306,7 triliun. Hal ini membuat APBN 2020 membukukan defisit sebesar Rp 883,7 triliun atau setara 5,6 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Efek negatif ekonomi

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai rencana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap ekonomi Indonesia. Dia pun meminta agar sebaiknya pemerintah mencari solusi untuk menaikkan penerimaan negara selain lewat tax amnesty.

"Tax amnesty menciptakan ketimpangan antara orang kaya dan miskin," kata Bima.

Bima menjelaskan, faktanya selama pandemi Covid-19 sudah banyak kebijakan yang pro terhadap korporasi, seperti penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen bertahap hingga 2022 sampai diskon PPnbm mobil. Sedangkan, bagi masyarakat umum dinaikkan pajak PPN-nya.

"Jadi, kebijakan tax amnesty sangat membahayakan ketimpangan pasca-Covid-19. Perlu dicatat rasio gini mulai menanjak ke 0,385 per 2020 dengan kelompok 20 persen teratas atau orang kaya porsi pengeluarannya justru naik ke 46,2 persen dari posisi 45,3 persen dalam periode setahun lalu," ujarnya menjelaskan.

Menurutnya, tax amnesty tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Hal ini tecermin pada periode 2018-2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3 persen. 

“Rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB bukannya naik, malah melorot terus. Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty," katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement