EKBIS.CO, JAKARTA-- Pandemi memberikan dampak signifikan bagi keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Hal ini berpengaruh terhadap kemampuan Garuda Indonesia untuk menyelesaikan kewajiban atas kredit yang telah diperoleh dari perbankan termasuk pada anggota Bank Himpunan Milik Negara (Himbara).
Sebagai pemilik saham, Kementerian BUMN memilih mengambil opsi penyelamatan Garuda Indonesia melalui skema debt to equity swap terhadap kredit yang ada pada perbankan. Debt to equity swap adalah pertukaran utang dengan saham atau mengubah utang menjadi penyertaan modal.
Menanggapi skema tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai status utang yang akan dikonversi menjadi ekuitas itu dapat diambil.
“Aturan terkait penyertaan modal diatur dalam POJK No 36, dengan prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat ketika dihubungi Republika, Rabu (9/6).
Sementara Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo menambahkan dari sisi ketentuan bank diperbolehkan melakukan penyertaan modal, sedangkan penyelamatan kredit dengan prinsip kehati-hatian.
“Perbankan silakan mengacu kepada ketentuan POJK 36 sudah jelas aturannya, ini bagian penerapan prinsip kehati-hatian,” ucapnya.
Sebelumnya Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan masalah yang menimpa Garuda Indonesia mau tidak mau harus diselesaikan dengan upaya penyelamatan restrukturisasi melalui proses legal internasional dan moratorium dalam waktu dekat.
"Kita sudah menunjuk konsultan hukum maupun konsultan keuangan untuk memulai proses ini dan memang harus segera melakukan moratorium atau standstill dalam waktu dekat, karena tanpa moratorium cash Garuda akan habis dalam waktu yang sangat pendek sekali. Ini yang harus kami tangani segera," ujar Kartika dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI di Jakarta, Kamis (3/6).
Kartika menjelaskan permasalahan Garuda Indonesia pada masa lalu terkait masalah sewa yang melebihi biaya (cost) produksi yang wajar dan memang jenis pesawatnya terlalu banyak. Sebagai contoh Garuda memiliki pesawat jenis Boeing 737, Boeing 777, Airbus A330, sampai dengan Bombardier sehingga efisiensinya menjadi bermasalah.
Kemudian rute-rute yang dilayani oleh Garuda Indonesia sendiri merupakan rute-rute penerbangan yang tidak menguntungkan. Sebenarnya pada 2019 rute domestik meraih keuntungan namun rute penerbangan luar negerinya merugi.
Tentunya ini merupakan penyakit lama Garuda Indonesia.Setelah Covid-19 timbul permasalahan baru, utang yang awalnya berada kisaran Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun, ini membuat posisi Garuda secara neraca dalam posisi unsolved karena utang dan ekuitasnya sudah tidak memadai untuk mendukung neracanya.
"Untuk itu apabila kita akan melakukan restrukturisasi yang sifatnya fundamental, utang 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp70 triliun ini harus menurun ke kisaran 1 sampai dengan 1,5 miliar dolar AS," kata Kartika.
Menurut dia, apabila Garuda Indonesia bisa melakukan restrukturisasi besar-besaran dan efisiensi maka Garuda bisa bertahan, namun usaha ini membutuhkan negosiasi dan proses hukum yang berat karena melibatkan berbagai pihak.