EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian ESDM menyebutkan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) oleh masyarakat tidak boleh ditunda. Pasalnya, potensi PLTS melimpah dan ke depan, dunia akan beralih ke energi bersih yang ramah lingkungan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis (2/9), mengatakan Indonesia kaya energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 MW. Sekitar 50 persen atau 200.000 MW di antaranya adalah energi surya. Sementara, pemanfaatan energi surya baru 150 MW atau 0,08 persen dari potensinya.
"Sudah menjadi budaya global, dunia bergerak cepat mengurangi energi fosil dan beralih ke energi bersih yang ramah lingkungan. Tuntutan green product yang dihasilkan oleh green industry meningkat dan bahkan menjadi keharusan jika tidak ingin produknya dikenakan carbon border tax di tingkat global," ujar Dadan.
Saat ini, pembiayaan energi fosil semakin diperketat. Sementara pengembangan energi terbarukan makin pesat dan harganya pun makin murah terutama PLTS.
Mengantisipasi hal tersebut, Kementerian ESDM menargetkan kapasitas PLTS atap mencapai 3.600 MW pada 2025 dengan merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan PLTS Atap. Peraturan itu mendorong pemasangan PLTS atap oleh masyarakat.
Sejumlah stimulus bagi rakyat yang ingin memasang PLTS atap antara lain ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero) ditingkatkan dari 65 persen menjadi 100 persen, jangka waktu kelebihan listrik masyarakat di PLN diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan, dan waktu permohonan PLTS atap dipersingkat menjadi 5-12 hari.
Menurut dia, dalam merevisi Permen PLTS atap, Kementerian ESDM telah mempertimbangkan semua aspek yang menjadi perhatian masyarakat dan juga PLN sebagai BUMN yang ditugaskan menyediakan listrik masyarakat secara seimbang.
Dadan juga meluruskan sejumlah isu terkait implementasi PLTS atap tersebut. Pertama, bisnis PLN tidak dirugikan akibat ekspor listrik dari masyarakat. PLTS atap hanya berpotensi mengurangi sedikit penerimaan PLN karena masyarakat bisa melistriki sendiri.
Target 3.600 MW itu pun dilakukan secara bertahap. Sehingga tidak signifikan mengurangi penerimaan PLN, terlebih sampai menyebabkan cashflow PLN merugi.
Di sisi lain, pemerintah terus mendorong creating demand untuk PLN seperti kawasan industri baru, smelter, kompor listrik, dan kendaraan listrik. Pengembangan PLTS atap juga akan mengurangi biaya bahan bakar per unit kWh sebesar Rp7,42 kWh dengan total nilai gas yang dihemat Rp4,12 triliun per tahun.
"Kebijakan PLTS atap ini juga berpihak kepada masyarakat luas, karena mengoptimalkan penghematan tagihan listrik bulanan dengan kapasitas terpasang sesuai daya langganan," katanya.
Isu kedua, lanjut Dadan, PLTS atap tidak akan menyebabkan pelanggan berburu keuntungan bisnis. "Motif tersebut akan sulit terjadi karena kapasitas PLTS atap dibatasi paling tinggi 100 persen dari kapasitas listrik pelanggan, sehingga tidak ada unsur berburu keuntungan. Pemasangannya juga hanya bisa di atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan dan tidak dibolehkan di lahan terbuka (ground mounted)," katanya.
Ketiga, selain tidak berdampak ke cashflow PLN, PLTS atap juga tidak menambah beban subsidi listrik dan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN. Hasil perhitungan Kementerian ESDM dengan ekspor PLTS atap sebesar 100 persen untuk menggantikan gas menunjukkan BPP naik Rp1,14/kWh (0,08 persen), subsidi naik Rp0,079 triliun (0,15 persen), dan kompensasi naik Rp0,24 triliun (1,04 persen) dibandingkan ekspor 65 persen.
Meskipun dalam perhitungan tersebut total subsidi pemerintah Rp 54,15 triliun, namun dibayar pemerintah hanya Rp 53,92 triliun. Hal ini akibat adanya pengurangan energi listrik yang dikonsumsi pelanggan PLTS atap, dengan nilai penghematan Rp 0,23 triliun.
Keempat, PLTS atap tidak berdampak pada kestabilan sistem kelistrikan karena Kementerian ESDM akan memperhatikan kurva beban (duck curve) dan pola operasi yang dilakukan PLN. Kelima, menurut Dadan, PLTS atap tidak semakin menyebabkan oversupply listrik dan mengakibatkan konsekuensi take or pay bagi PLN akibat potensi pasar listriknya berkurang.
"Apabila dibandingkan dengan perkiraan penjualan listrik PLN yang pada 2021 sekitar 261 TWh, maka potensi berkurangnya penjualan PLN adalah 0,1 persen saja. Di sisi lain, PLN dapat melakukan upaya demand creation mengingat masih besarnya market listrik ke depan," katanya.