Bank Dunia juga menyebut mereka dengan pengeluaran di bawah 2,97 dolar AS per kapita per hari, membelanjakan 56,21 persen dari penghasilannya untuk makanan, sehingga membuat mereka yang berpenghasilan rendah ini, sangat rentan terhadap fluktuasi harga pangan.
Felippa mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan penggunaan sistem perizinan impor otomatis untuk mempersingkat proses perizinan dan menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih sehat dan kompetitif. Selama ini, keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan diambil melalui rapat koordinasi terbatas antar-kementerian dan juga harus memenuhi berbagai persyaratan.
Impor pangan Indonesia dikontrol pemerintah melalui Quantitative Restrictions (QR), yang lebih dikenal sebagai kuota impor yang ditetapkan melalui proses panjang penerbitan izin impor nonotomatis yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan kementerian/lembaga terkait lainnya.
“Sistem perizinan impor nonotomatis menyebabkan keluarnya izin impor menjadi tertunda, menyebabkan kekurangan pasokan dan berkontribusi pada kenaikan harga,” jelas Felippa.
Sistem perizinan impor otomatis memberikan kesempatan kepada semua importir terdaftar untuk mengimpor sehingga akan mengurangi berbagai penundaan akibat proses birokrasi serta menghilangkan peluang korupsi. Importir yang memenuhi persyaratan dapat mengimpor kapan saja, tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah.
“Dibutuhkan juga reformasi kebijakan yang memungkinkan masuknya investasi supaya modernisasi pertanian bisa tercapai. Modernisasi pertanian dalam negeri diperlukan untuk meningkatkan daya saing petani, melalui penggunaan teknologi pertanian dan Good Agricultural Practice serta peningkatan kapasitas mereka,” ungkapnya.