Kamis 04 Nov 2021 19:54 WIB

Indonesia Bersiap Tinggalkan Bisnis Batu Bara

Batu bara adalah kontributor tunggal terbesar terhadap perubahan iklim.

Red: Nidia Zuraya
Truk membawa batubara di area pertambangan (ilustrasi).
Foto:

Jakarta telah mengidentifikasi 5,5 gigawatt pembangkit listrik tenaga batu bara yang dapat dipensiunkan lebih awal dalam 8 tahun ke depan, dan langkah itu diperkirakan akan menelan biaya sebesar 25 hingga 30 miliar dolar AS. Sri Mulyani mengatakan Indonesia juga akan membutuhkan dukungan internasional untuk memastikan tarif listrik tetap terjangkau ketika beralih ke sumber energi terbarukan. 

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission. Menurutnya, persoalan lingkungan dan ketegasan menjalankan misi tersebut membutuhkan daya dukung transisi energi sehingga membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang optimal.

"Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT," jelas Arifin, Kamis (4/11).

Indonesia, sambung Arifin, berencana mulai mengembangkan Super Grid pada tahun 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi. "Sebagai negara kepulauan, kita perlu menyediakan akses listrik ke seluruh masyarakat lokal setempat," katanya.

Sementara penerapan teknologi tepat guna juga diperlukan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan dan efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermitten EBT, seperti matahari dan angin. "Teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan EBT termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS)," Arifin menambahkan.

Terkait pembiayaan, Arifin menegaskan peran sektor swasta sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan sebagai aspek penting dalam meningkatkan dan mempercepat implementasi energi rendah karbon. "Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan," paparnya.

Salah satunya melalui pengesahan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara 2021 - 2030 dimana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6 persen atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW). "Kami mengakui bahwa kerangka peraturan sangat penting untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan dan memastikan keberhasilan transisi energi kami," ungkap Arifin.

Arifin menegaskan, penambahan kapaistas pembangkit listrik hanya akan berasal dari EBT mulai tahun 2035. "Pemanfaatan panas bumi dimaksimalkan hingga 75 persen dari potensi, pembangkit hidro dioptimalkan ke pusat beban di pulau-pulau kecil dalam menyeimbangkan pembangkit listrik VRE," jelasnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement