EKBIS.CO, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung dan fenomena La Nina yang menyebabkan ketidakpastian musim tanam dan musim panen berpotensi meningkatkan harga berbagai komoditas pangan di Indonesia di tahun depan. Dibutuhkan kebijakan yang tepat sasaran untuk mengantisipasi kenaikan harga tersebut.
“Krisis iklim telah menjadi salah satu tantangan dalam kelangsungan sektor pertanian dalam menjalankan fungsinya menyediakan pangan bagi seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian musim tanam dan panen semakin menambah tantangan petani kita dalam memproduksi pangan dan memenuhi kesejahteraannya,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan, Jumat (12/11).
Saat ini, distribusi dan ketersediaan sebagian besar bahan pangan pokok di Indonesia memang sudah lebih stabil daripada sebelumnya. Akan tetapi, beberapa komoditas yang sebagian besar bersumber dari impor, seperti bawang putih, gula, daging sapi dan kedelai, diprediksi juga akan mengalami fluktuasi harga.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat sepanjang 2021 harga bawang putih cenderung mengalami kenaikan dari Rp 28.300 per kilogram (kg) di bulan Januari dan mencapai titik tertinggi di bulan Agustus sebesar Rp 30.600 per kg. Harga daging sapi juga terus mengalami kenaikan dari Rp 113.250 per kg di Januari 2021 hingga mencapai Rp 120.050 per kg di bulan Mei 2021.
“Pantauan pergerakan harga dan produksi nasional seharusnya sudah bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan yang akurat. Di samping itu, dibutuhkan data pangan yang dapat dipercaya dan diperbaharui secara berkala,” kata Indra.
Kesulitan mengamankan impor daging sapi dapat meningkatkan kemungkinan kenaikan harga domestik, apalagi mengingat perayaan Idul Fitri pada tahun 2022 mendatang akan berlangsung di awal tahun.
Rendahnya permintaan akibat pandemi memang dapat meredam kenaikan harga. Tetapi, menjelang Bulan Ramadan dan Idul Fitri, jumlah permintaan sudah dipastikan akan melebihi permintaan di hari-hari biasa. Untuk itu, ketersediaan stok yang memadai sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan harga pangan, terutama komoditas yang tergolong pokok dan dan sumber ketersediaannya sebagian besar berasal dari impor.
“Rentetan peristiwa yang menandai fluktuasi harga komoditas pangan, terutama yang termasuk pada komoditas pokok dan ketersediaannya dipenuhi lewat impor, idealnya sudah bisa dijadikan parameter dalam mengambil kebijakan,” tegas Indra.
Selain fluktuasi harga, data produksi pangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi sangat penting dalam menentukan kebijakan. Proses panjang importasi juga perlu diingat sehingga timing masuknya komoditas pangan impor tidak merugikan petani, ditambahkannya.
Kenaikan harga pangan di tingkat internasional juga berpengaruh pada harga dalam negeri. Bila ketersediaan stok sudah tidak mencukupi dan harga-harga sudah mulai naik, mempertimbangkan stok negara di luar negeri atau impor dapat menjadi jalan untuk menyediakan komoditas pangan bermutu dan dengan harga yang terjangkau.
“Seperti contohnya bawang putih yang ketersediaanya dipenuhi lewat impor, perlu dipermudah akses dan syarat-syarat impornya. Ketahanan pangan dalam negeri penting untuk dijaga melalui pemenuhan kebutuhan pangan dengan harga terjangkau” ujar Indra.
Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat harga pangan dunia melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade ini, didorong oleh kuatnya permintaan di tengah panen yang lesu. Data FAO menyebut, harga pangan global Oktober 2021 naik 3,0 persen dibandingkan September 2021, kenaikan tertinggi sejak Juli 2011.