EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengingatkan agar Indonesia bisa mewaspadai ancaman krisis energi di tengah naiknya harga komoditas belakangan ini."Diketahui memang harga komoditas energi sempat minus, namun kenaikan harga komoditas energi ini yang diperkirakan juga sangat berpengaruh terhadap negara kita terutama terkait subsidi energi," kata Airlangga di Jakarta, Senin (22/11).
Pemulihan ekonomi secara cepat dan tertekan akibat Covid-19 menyebabkan disrupsi rantai nilai pasokan, sehingga berbagai harga termasuk minyak mentah, gas alam, batu bara, tembaga, dan minyak sawit mengalami kenaikan. Dengan demikian, beberapa negara pun mengalami krisis energi terutama saat transisi dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan yang tidak berjalan sesuai dengan harapan.
Airlangga menilai kenaikan harga energi dipicu oleh peningkatan harga komoditas energi di China lantaran energi terbarukan yang lebih terbatas."Kita harus belajar dari transisi energi ini agar transisi energi ini tidak berdampak terhadap base load yang dipersiapkan, karena data base load ini penting untuk sektor produktif," ungkap dia.
Selain krisis energi, dirinya menyebutkan setidaknya ada beberapa tantangan lainnya yang akan dihadapi Indonesia ke depannya, yakni Covid-19 dan varian barunya, ketidakpastian geopolitik, pengurangan pembelian aset oleh Bank Sentral AS, serta perubahan iklim.
"Artinya gas dan rem ini tetap harus dijaga, karena kita ketahui COVID-19 belum berakhir dan masih terdapat beberapa risiko eksternal lainnya," ujar Menko Airlangga.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan terus mendorong pengembangan sistem penyimpanan energi yang menjadi kunci utama dalam pengembangan energi baru terbarukan secara masif di Indonesia."Pumped storage akan mulai digunakan pada 2025, BESS yang akan digunakan tahun 2031, dan hidrogen juga akan digunakan secara bertahap mulai tahun 2031," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Sahid Junaidi di Jakarta, Senin (22/11).
Sistem penyimpanan pumped storage dipakai pada PLTA Cisokan di Jawa Barat dengan kapasitas 1.000 megawatt. Teknologi ini adalah jenis sistem penyimpan energi hidroelektrik yang digunakan oleh sistem tenaga listrik untuk menyeimbangkan beban.
Proyek PLTA Cisokan akan menjadi cadangan sumber daya pembangkit energi baru terbarukan yang bersifat intermiten atau tidak stabil.Sedangkan battery energy storage systems (BESS) merupakan teknologi yang dikembangkan untuk menyimpan energi listrik dengan menggunakan baterai khusus.
BESS akan menyimpan energi berlebih yang dihasilkan oleh sistem energi baru terbarukan untuk menyuplai beban ketika sumber energi bersih tidak dapat menghasilkan listrik. Adapun sistem penyimpanan hidrogen menjadi salah satu opsi dari metode menyimpan energi yang portable.
Berdasarkan peta jalan netralitas karbon, penambahan kapasitas energi setelah tahun 2030 hanya akan bersumber dari energi baru terbarukan. Energi tambahan yang dihasilkan energi terbarukan tersebut harus disimpan dalam sistem penyimpanan seperti baterai supaya tidak mubazir.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, total potensi energi bersih di Indonesia mencapai 3.64,4 gigawatt yang terdiri dari surya 3.294,4 gigawatt, air, 94,6 gigawatt, bioenergi 56,9 gigawatt, angin 154,9 gigawatt, panas bumi 23,7 gigawatt, dan laut 59,9 gigawatt. Sedangkan porsi energi bersih yang baru dimanfaatkan saat ini hanya sebesar 10.889 megawatt yang terdiri dari surya 194 megawatt, air 6.432 megawatt, bioenergi 1.923 megawatt, angin 154 megawatt, dan panas bumi 2.186 megawatt.
Selain potensi energi terbarukan, beragam potensi energi baru yang ada juga masih belum banyak diketahui, seperti uranium untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).Sahid mengungkapkan pemanfaatan panas bumi akan dimaksimalkan hingga 75 persen dari potensi, pembangkit listrik tenaga air juga akan dimaksimalkan dan dikirim ke pusat-pusat beban di pulau lain untuk menyeimbangkan pembangkit listrik aneka energi baru terbarukan.
Setrum nuklir berkapasitas 35 gigawatt akan masuk sekitar tahun 2049 untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan pada 2060. Saat ini, Kementerian ESDM telah mengembangkan sebuah peta jalan yang menjabarkan upaya-upaya yang diperlukan untuk pengembangan energi baru terbarukan, pengurangan bahan bakar fosil, dan penerapan teknologi bersih untuk mencapai karbon netral pada 2060.