EKBIS.CO, JAKARTA -- Penggunaan mata uang lokal dalam transaksi bilateral atau Local Currency Settlement (LCS) terus mengalami tren kenaikan signifikan baik untuk perdagangan maupun investasi antar negara. Bank Indonesia (BI) berkomitmen memperluas dan memperbesar volume penggunaan LCS setelah bekerja sama dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan China.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan penggunaan transaksi LCS di Indonesia telah mencapai 2,53 miliar dolar AS pada 2021 atau sekitar Rp 36,1 triliun. Nilainya naik sangat signifikan dari 797 juta dolar AS pada 2020.
"Untuk tahun ini, kita ingin menargetkan kenaikan sekitar 10 persen LCS," katanya dalam Finance Track Side Events, Rabu (16/2/2022).
Pada 2021, sebanyak 35 persen transaksi LCS digunakan untuk perdagangan, 14 persen untuk remitansi, satu persen untuk investasi langsung, dan 50 persen untuk interbank. Selain untuk kesepakatan bilateral, LCS juga akan bermanfaat dalam menstabilkan nilai tukar.
Apalagi di tengah kondisi yang tidak stabil di tataran global setelah normalisasi kebijakan AS mempengaruhi kestabilan moneter. Perry mengatakan, ekonomi regional berisiko terpapar global shock yang dapat berpengaruh pada sistem keuangan dan stabilitas makroekonomi.
Lebih lanjut, penggunaan LCS juga dinilai lebih efektif dan efisien, khususnya bagi para eksportir dan importir. Ketua Apindo dan anggota Dewan Penasehat Kadin, Hariyadi B Sukamdani mengatakan penggunaan LCS lebih rasional daripada dolar AS.
"Kita lihat data-data perdagangan, dengan AS itu kecil tapi penggunaan dolarnya sangat tinggi, nggak fair," katanya.
Hariyadi mengatakan pangsa ekspor Indonesia ke AS hanya 11 persen dan impor sebesar 6,3 persen. Namun penggunaan mata uang dolar AS untuk transaksi perdagangan bilateral untuk ekspor mencapai sebesar 95,1 persen dan impor 84,3 persen.
Kontributor utama LCS pada 2021 perbulannya adalah dengan China dengan volume senilai 128,36 juta dolar AS, diikuti Jepang senilai 95,5 juta dolar AS. Total jumlah pelakunya per bulan naik jadi 536 dari 255, mayoritas dengan Malaysia.
Menurutnya, pengusaha mendukung program ini meski ada beberapa catatan. Pengusaha menginginkan adanya kemudahan dalam underlying transaksi, khususnya dengan China yang meminta underlying untuk setiap transaksi LCS berapapun nilai.
Sementara dengan negara rekanan LCS lain tidak perlu ada underlying tersebut atau ada nilai tertentu. Selain itu masih perlunya sosialisasi, kemudahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perluasan dengan negara lain.
Dalam kesempatan sama, Gubernur People's Bank of China (PBoC) Yi Gang mengatakan China akan bekerja sama dengan Indonesia dan negara-negara Asia lainnya untuk meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi.
"Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara berkembang Asia telah membuat kemajuan substansial dalam menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi, yang mendorong ketahanan ekonomi mereka untuk mengatasi guncangan abadi," kata Yi dalam acara G20 melalui video.
"China akan menjaga kebijakan moneter akomodatifnya fleksibel," tambah Yi.