EKBIS.CO, JAKARTA -- Dewan Energi Nasional (DEN) menilai momen kenaikan harga minyak dan gas dunia yang cukup signifikan menjadi peluang besar bagi pemerintah untuk bisa mendorong penggunaan kompor induksi ke masyarakat. Apalagi, dengan menggunakan kompor induksi bisa mengurangi ketergantungan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) secara nasional.
Anggota DEN Satya Yudha menilai dengan kenaikan harga minyak dunia saat ini juga turut menaikkan acuan harga LPG, di mana Indonesia memakai acuan CP Aramco dalam hitungan harga impor LPG. "Kondisi ini kemudian memaksa Pertamina menaikkan harga LPG non-subsidi. Namun, dari sisi beban APBN juga akan semakin meningkat karena kondisi pergerakan harga komoditas dunia membuat subsidi LPG 3 kg kian melonjak," ujar Satya.
Berdasarkan data Indonesia Energy Outlook 2019 dari Dewan Energi Nasional, pada tahun 2018, konsumsi LPG bersudsidi mencapai 7,5 juta ton. Peningkatan konsumsi LPG ini tidak diimbangi dengan penyediaan LPG dari kilang LPG dan kilang minyak di dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah hanya dapat mengandalkan produksi LPG dalam negeri sebesar dua juta ton (26 persen), sedangkan sisanya diimpor sebanyak 5,5 juta ton (74 persen).
Dari tahun ke tahun konsumsi LPG terus bertambah, sehingga subsidi LPG pun kian membengkak. Pada tahun 2018, pemerintah menetapkan subsidi untuk LPG 3 kg antara Rp 6.000-10 ribu per kilogram. Selama tahun 2018 saja, pemerintah mengucukan anggaran untuk subsidi mencapai Rp 58,1 trilliun. Pada tahun 2020, anggaran subsidi LPG diperkirakan sebesar Rp 50,6 triliun.
Satya menilai ada beberapa hal yang bisa mensubtitusi LPG ini salah satunya adalah kompor induksi. Meski memang saat ini harga dari kompornya masih cukup mahal, namun dari sisi pemakaian energinya sudah murah dan lebih murah dibandingkan LPG.
"Sehingga kami di DEN memang mendorong pemerintah untuk mengajak masyarakat beralih ke kompor induksi," ujar Satya.
Satya menilai perlu adanya sosialisasi yang gencar perihal ini. Peran PLN dan Pemerintah dalam meyakinkan masyarakat bahwa kompor induksi lebih murah menjadi kunci keyakinan masyarakat untuk beralih.
"Sebab, jika kita bicara masyarakat yang terutama adalah harganya. Jika memang harganya ada yang lebih murah pasti masyarakat akan beralih yang ke murah," ujar Satya.
Kondisi ini juga kata Satya sebagai salah satu mitigasi agar masyarakat tidak berbondong-bondong mengambil elpiji gas melon yang saat ini masih disubsidi pemerintah. Dengan kenaikan harga LPG non subsidi gap harga yang terjadi dengan LPG subsidi sangat besar dan berpotensi untuk membuat masyarakat memburu LPG subsidi.
"Padahal, LPG subsidi ini menjadi tanggungan APBN. Kami di DEN juga meminta pemerintah dan Pertamina bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya shifting ini," ujar Satya.
Ia juga menilai dengan menggunakan kompor induksi juga bisa sejalan dengan target pemerintah dalam mengurangi emisi karbon. Sebab, dengan mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, dengan kompor induksi jumlah emisi karbon yang dikeluarkan juga lebih sedikit.
"Ini semua juga inline dengan rencana pemerintah dalam transisi energi dan pengurangan emisi karbon serta mewujudkan kemandirian energi," tambah Satya.