EKBIS.CO, JAKARTA -- Produsen tahu dan tempe berharap program subsidi kedelai dari pemerintah bisa menurunkan harga kedelai sehingga tak lebih dari Rp 10 ribu per kg. Namun, mengingat harga kedelai saat ini yang tinggi dan alokasi subsidi yang terbatas, Gakoptindo menilai subsidi bakal meringankan beban untuk sementara waktu.
Ketua Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, mengatakan, saat ini harga kedelai yang diterima produsen perajin sudah lebih dari Rp 12 ribu per kilogram (kg). Sementara, subsidi kedelai yang ditetapkan pemerintah hanya sebesar Rp 1.000 per kg.
"Tapi, apapun itu, namanya juga bantuan kita alhamdulillah, berterima kasih," kata Aip kepada Republika.co.id, Ahad (27/3/2022).
Aip mengatakan, dengan subsidi sebesar Rp 1.000 per kg, setidaknya bisa mengurangi kerugian produsen tahu dan tempe. Sebab, dengan tingkat harga saat ini perajin sudah mengalami kerugian sementara itu untuk menaikkan harga cukup sulit.
"Kenapa? Karena hubungan antara produsen dan pedagang maupu pembeli sudah bagus sehingga ada hubungan batin. Kalaupun ada kenaikan harga tahu dan tempe kita minta maaf," ujar dia.
Sementara itu, Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta, Sutaryo, mengatakan, subsidi pemerintah akan meringankan beban produsen untuk sementara waktu. "Kecuali kalau lonjakan harga sudah tidak terbendung karena fluktuasi harga," ujar Sutaryo.
Senada dengan Aip, Sutaryo mengatakan, produsen tidak mematok harga tertentu untuk kedelai bersubsidi karena harga yang tinggi saat ini. Apalagi pemerintah tidak memiliki penguasaan pasokan kedelai.
Namun, pihaknya berharap agar perubahan harga kedelai subsidi yang diterima perajin tidak berubah-ubah dalam waktu singkat. "Misal harga yang diterima bisa Rp 10 ribu lalu naik jadi Rp 11 ribu tidak apa-apa. Tapi kalau tiba-tiba jadi Rp 12 ribu, Rp 13 ribu itu yang tidak bisa bagi perajin," kata Sutaryo.
Memasuki Ramadhan, Sutaryo mengatakan harga tahu dan tempe biasanya akan mengalami penurunan. Pasalnya, permintaan akan menurun karena masyarakat lebih condong mengonsumsi bahan pangan yang lebih mahal seperti daging sapi maupun daging ayam.
"Ini karena di bulan puasa, mayoritas masyarakat ingin makan yang enak-enak," kata Sutaryo.