EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengatakan, persoalan harga minyak goreng yang semakin tinggi dapat berdampak pada tingkat penduduk miskin di Indonesia. Pasalnya, kenaikan harga, terutama kemasan terlampau tinggi dan tidak seimbang dengan kemampuan masyarakat.
Ketua BPKN, Rizal Edy Halim, mengatakan, gejolak harga minyak goreng saat ini sangat memberatkan masyarakat, terutama untuk kalangan menengah ke bawah.
"Kalau kenaikan harga jadi Rp 25 ribu per liter, memang kelompok menengah ke atas tidak terpengaruh, tapi kelompok menengah ke bawah itu terganggu. Bahkan, masyarakat kita di garis (rentan) kemiskinan itu berpotensi turun (miskin)," kata Rizal dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR, Kamis (31/3/2022).
BPKN pun menilai dinamika masalah minyak goreng cukup unik sekaligus menggelikan. Pasalnya, ketika harga mengalami kenaikan, biasanya akibat mekanisme pasar yang tidak seimbang, seperti terbatasnya pasokan.
Sementara saat ini, Indonesia tidak mengalami gangguan pasokan minyak sawit (CPO) yang menjadi bahan baku minyak goreng. Apalagi, kebutuhan untuk domestik dari total produksi tidak mendominasi atau lebih kecil dari ekspor.
Sebagai gambaran, produksi CPO tahun lalu mencapai 46,8 juta ton, dan dipakai untuk domestik sebanyak 18,4 juta ton. Kebutuhan domestik itu, sebagian dipakai untuk produksi minyak goreng dan lebih besar dipakai untuk biodiesel dan oleokimia.
"Dan, semua produksi minyak goreng itu tidak semua ke dalam negeri, kita hanya butuh 4-5 juta ton dan sisanya diekspor. Jadi bahan baku kita ekspor 75 persen, hilirnya ekspor 70 persen. Artinya apa? Suplai kita tidak ada masalah," kata dia.
Rizal pun menekankan, jika ada gejolak harga seperti saat ini, tentunya sangat memberatkan masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah. Ia pun menyebut, masyarakat yang berada di garis kemiskinan berpotensi turun ke dalam garis kemiskinan.
Ia menambahkan, kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebelumya menganai domestic market obligation (DMO) dan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng keliru sehingga tak membuahkan hasil positif bagi masyarakat.
Kekeliriuan kebijakan itu karena ditetapkan hanya di atas kertas. Sementara, pemerintah tidak menguasai fisik dari CPO maupun minyak goregn itu sendiri.
"Kebijakan Kemendag itu di atas keras tidak memegang fisik, kalau pemerintah memegang fisiknya, itu kebutuhan domestik (untuk minyak goreng) selesai," katanya.