Ketika raksasa teknologi terus membangun platform metaverse, banyak pertanyaan muncul tentang masa depan kesehatan mental manusia. Sebagaimana diketahui, CEO Meta Mark Zuckerberg telah lama vokal tentang rencananya untuk menjadi metaverse, yaitu dunia virtual yang terdiri dari game, media sosial, augmented reality, dan cryptocurrency.
"Metaverse adalah evolusi berikutnya dari koneksi sosial," tulis Meta di halaman web yang juga menjadi tuan rumah dari 13 seri audio yang merinci visi Zuckerberg untuk ruang digital.
Evolusi ini, tampaknya ada di sini karena perusahaan seperti Microsoft, Apple, dan Nvidia sudah meletakkan dasar untuk ruang virtual terdesentralisasi.
Baca Juga: Jangan Kaget Kalau Kejadian, Mark Zuckerberg Diprediksi Bakal Jadi Pemimpin Dunia Metaverse
Sekarang para ahli secara serius merenungkan bagaimana rencana Zuckerberg untuk masa depan akan mempengaruhi kesehatan mental setiap insan. Pasalnya, beberapa di antaranya sudah sangat terintegrasi ke dalam dunia online.
Mengutip The Sun di Jakarta, Senin (4/4/22) di masa lalu, pakar teknologi dan kesehatan mental mengkhawatirkan sebagian besar teknologi dan bagaimana mereka akan memengaruhi kehidupan kita.
Saat ini, banyak ahli mengatakan bahwa kekhawatiran ini tidak berdasar karena faktor-faktor seperti genetika dan status sosial ekonomi lebih signifikan bagi kesejahteraan seseorang, menurut The Wall Street Journal.
Mereka berpendapat bahwa metaverse juga akan terintegrasi dengan mulus ke dalam kehidupan manusia. Namun, yang lain tidak setuju, mereka menyatakan bahwa konsep metaverse tidak hanya revolusioner tetapi wilayah yang belum dipetakan yang pasti akan menghadirkan beberapa tantangan.
Sains memiliki bukti nyata yang menghubungkan penggunaan teknologi digital secara berlebihan dengan beberapa masalah kesehatan mental, seperti depresi, psikotisme, dan ide paranoid, menurut artikel yang ditinjau sejawat di Psychology Today.
Menghabiskan banyak waktu di lingkungan digital juga dapat mengakibatkan seseorang lebih memilih ruang virtual daripada hidup di kenyataan.
"Hal ini dapat berdampak negatif pada kemampuan kita untuk terlibat dalam kehidupan non-virtual, apakah itu kepercayaan diri atau rasa memiliki atau kecemasan sosial," ujar Rachel Kowert, direktur penelitian di Take This, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada kesehatan mental di komunitas video game.
Meski demikian, banyak juga ahli yang percaya bahwa metaverse dapat memberikan dampak positif bagi manusia, yaitu bila digunakan dengan cara yang sehat.
Daria Kuss, Kepala Kelompok Riset Cyberpsikologi di Universitas Nottingham Trent, mengatakan: "Kami tahu bahwa format psikoterapi tertentu, terutama terapi paparan realitas virtual, dapat menjadi alat yang fantastis untuk membantu individu yang terkena berbagai fobia."
Masalah kesehatan mental seperti depresi, psikosis, kecanduan, gangguan makan, dan gangguan stres pasca-trauma dapat ditangani dengan menggunakan metaverse dengan secara bertahap mengekspos [orang] ke stimulus yang memicu, ditakuti, atau menghasilkan trauma di tempat yang aman (seperti lingkungan virtual), tambah Dr. Kuss.
Peter Etchells, seorang profesor psikologi dan komunikasi sains di Bath Spa University, mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa dia percaya metaverse bisa menjadi kekuatan luar biasa untuk kebaikan dalam hal menjaga kita tetap terhubung, asal jika dikembangkan dengan cara yang etis.
Sementara itu, dia juga mengakui bahwa segala sesuatunya bisa salah, dan menurutnya bisa saja kita kehilangan kesempatan luar biasa jika hanya fokus pada hal-hal negatif.