EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kerugian masyarakat terkait investasi fiktif sebesar Rp 21 triliun. Adapun realisasi ini tercatat sejak 2017 sampai 2022.
Wakil Ketua 1 Satgas Waspada Investasi OJK, Wiwit Puspasari mengatakan jumlah tersebut berdasarkan hasil ungkapan pihak kepolisian.
“Pada 2021 ada penurunan Rp 2,5 triliun. Sementara data Mei 2022, sudah Rp 2,9 triliun,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (14/6/2022).
Wiwit merinci pada 2017 kerugian sebesar Rp 4,4 triliun, pada 2018 sebesar Rp 1,4 triliun. pada 2019 sebesar Rp 4 triliun dan pada 2022 sebesar Rp 5,9 triliun. Menurutnya tidak menutup kemungkinan jumlah terus meningkat karena masih banyak kasus investasi fiktif yang belum ditangani oleh pihak kepolisian.
“Jadi masih ada potensi kerugian yang belum diketahui,” ucapnya.
Sementara itu Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai selama ini banyak skema investasi yang menawarkan iming-iming imbal hasil tinggi. Celakanya, sasaran dari pelaku mayoritas merupakan investor pemula yang minim literasi keuangan.
Menurutnya, sejalan dengan aksi agresif Bareskrim maka masyarakat mendapatkan jaminan keamanan karena aparat penegak hukum melakukan penanganan dengan meringkus sederet perusahaan investasi abal-abal tersebut.
"Kinerja Bareskrim sudah cukup bagus. Tetapi tetap perlu dipertahankan dan ditingkatkan terutama pada kejahatan cyber," ucapnya.
Piter menyebut gerak cepat Bareskrim perlu diimbangi dengan pendalaman literasi keuangan oleh pemangku kebijakan lainnya, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap investasi aman lebih mumpuni. Menurutnya, apabila literasi keuangan tidak dilakukan dengan masif, maka modus serupa tidak tertutup kemungkinan kembali terulang dan bermuara pada banyaknya masyarakat yang terjebak dalam investasi abal-abal.
"Mengatasi penipuan investasi bodong tidak bisa Bareskrim. Semua pihak bisa ikut terlibat dan aktif membantu," katanya.
Dalam rangka meminimalisasi penipuan, dia menyarankan kepada masyarakat dapat berinvestasi aset yang telah mendapatkan legalitas dari pemerintah, serta memanfaatkan pihak penyedia jasa yang terdaftar otoritas terkait.
“Izin operasional yang dikantongi oleh pihak perantara menjadi jaminan keamanan yang unggul. Selain itu, pilihan pada aset investasi resmi seperti saham, obligasi, reksa dana, atau perbankan, juga mampu mencegah terjadinya penipuan,” ucapnya.