EKBIS.CO, JAKARTA -- Harga Batu bara Acuan (HBA) bulan Juli terkoreksi ke angka 319,00 dolar AS per ton atau turun 4,91 dolar AS per ton dari bulan Juni, yaitu 323,91 dolar AS per ton. Murahnya harga batu bara asal Rusia membuat permintaan impor batu bara ke China dan India mengalami peningkatan signifikan.
"Ada diskon khusus batu bara yang berasal dari Rusia. Diskon ini membuat Tiongkok dan India meningkatkan kapasitas impor mereka," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi, Senin (4/7/2022).
Agung menambahkan, ketertarikan China dan India melakukan impor batubara dari Rusia dikarenakan harga batubara global yang mulai merangkak naik akibat kelangkaan pasokan dan harga gas alam cair yang semakin mahal.
Di samping itu, faktor lain dari penuruan HBA Juli adalah meningkatnya produksi batubara domestik India untuk mengatasi persoalan krisis listrik di negara mereka.
Penurunan HBA, sambung Agung, merupakan kali terakhir dalam enam bulan terakhir. Pada bulan Januari 2022, HBA ditetapkan sebesar 158,50 dolar AS per ton, naik ke 188,38 dolar AS per ton di Februari. Selanjutnya bulan Maret menyentuh angka 203,69 dolar AS per ton, April sebesar 288,40 dolar AS per ton, bulan Mei berada di level 275,6 dolar AS per ton, dan terakhir pada bulan Juni, yaitu 323,91 dolar AS per ton.
HBA sendiri merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen, dan Ash 15 persen.
Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.