EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank DKI berencana melantai di bursa atau initial public offering (IPO) pada tahun ini. Namun sayangnya aksi korporasi tersebut terancam gagal lantaran Bank DKI tengah mengalami permasalahan kredit dari debiturnya yakni PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai permasalahan Bank DKI dengan anak usaha PT Waskita Karya (Persero) yang belum juga mencapai kesepakatan tersebut bisa saja berdampak pada rencana IPO Bank DKI. Pasalnya masalah utang piutang tersebut dinilai dapat mengganggu kinerja keuangan Bank DKI.
"Tentu masalah dengan Waskita Beton akan berdampak negatif dengan rencana IPO Bank DKI. Utangnya juga lumayan kan itu kalau gagal bayar bisa menjadi preseden buruk Bank DKI apabila IPO. Harganya juga pasti akan tidak bagus. Kinerjanya akan dipertanyakan," ujar Huda di Jakarta, Jumat (12/8/2022).
Permasalahan WSBP sendiri sudah diselesaikan melalui proses persidangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang mana pada 28 Juli 2020 Pengadilan Negeri Jakarta telah menyatakan PKPU WSBP sudah berakhir dengan hasil mayoritas kreditur menyepakati proposal perdamaian. Bank DKI selaku salah satu kreditur dengan nilai tagihan Rp 745 miliar menjadi satu-satunya kreditur perbankan yang menolak proposal perdamaian. Sementara 9 bank lainnya telah menyetujui keputusan PKPU tersebut. Bank DKI pun mengambil langkah mengajukan permohonan kasasi sehingga putusan Pengadilan untuk PKPU WSBP belum bisa dinyatakan inkracht.
Selain itu, Huda juga menyoroti terkait angka Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) aset keuangan Bank DKI. Jika melihat laporan keuangan Bank DKI per 31 Maret 2022 yang disajikan dalam situs resminya, Bank DKI mencatatkan saldo CKPN aset keuangan sebesar Rp 1,8 triliun atau naik dari semula Rp 1,7 triliun per 31 Desember 2021.
"Ini buruk bagi perbankan yang mana risiko akan kegagalan pembayaran debitur meningkat. Artinya Bank DKI dinilai tidak berhati-hati dalam pemberian kredit. Jadi cukup riskan apabila Waskita Beton ini tidak dibayarkan maka bisa mengganggu arus kas Bank DKI," ucap Huda.
Seperti diketahui, terdapat dua skema dalam Rencana Perdamaian WSBP bagi kreditur yang tidak setuju dengan rencana perdamaian, yaitu 15 persen utang diselesaikan dengan kas internal WSBP pada tahun kelima dan keenam setelah perdamaian, dengan bunga dua persen per tahun. Lalu sisa 85 persen utang akan diselesaikan melalui Obligasi Wajib Konversi dengan tenor sepuluh tahun. Obligasi akan dikonversi menjadi saham WSBP pada tahun kesepuluh. Berarti apabila rencana perdamaian WSBP inkrah maka 15 persen piutang Bank DKI kepada WSBP atau kurang lebih Rp 112 miliar akan dibayarkan pada tahun kelima dan keenam, sementara sisanya kurang lebih Rp 634 miliar akan diselesaikan oleh obligasi wajib konversi.
"Bank DKI nampaknya ingin pembayaran sesegera mungkin yang didapat dari penjualan aset WSBP Jika dinyatakan pailit. Mungkin itu yang diinginkan Bank DKI, untuk menjaga arus kas-nya," lanjut Huda.
Selain itu, menurut Huda, Bank DKI juga perlu berbenah untuk meningkatkan kualitas kreditnya dan meningkatkan Dana Pihak Ketiga agar CKPN-nya tidak semakin membengkak. Huda menilai wajar atas kondisi sulit yang dialami WSBP. Pasalnya, kondisi serupa juga dialami hampir semua perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, akibat terpaan pandemi Covid-19. Hingga dampaknya WSBP tidak mampu membayar kewajibannya kepada para kreditur, termasuk Bank DKI.
Kendati demikian Huda mengapresiasi langkah seluruh pihak dalam mencari jalan keluar melalui PKPU, terlebih PKPU yang ditempuh berhasil mendapatkan kesepakatan perdamaian (homologasi). Meskipun, sangat disayangkan putusan tersebut terhambat oleh adanya proses Kasasi yang diajukan Bank DKI.
"Tapi, langkah Bank DKI mengajukan Kasasi ini juga dilindungi oleh hukum," sambung Huda.
Menurut Huda, Bank DKI dan WSBP perlu segera merumuskan solusi perdamaian agar dapat menyakinkan pengadilan memberi putusan PKPU yang inkrah sehingga WSBP dapat segera merealisasikan proposal perdamaian kepada para krediturnya.
"Memang akan merugikan investor atau kreditur lainnya karena kepastian jalan keluarnya jadi tertunda lagi. Waskita Beton pun jadi punya waktu yang lebih sedikit untuk perbaikan kinerja keuangannya," kata Huda.
Sebelumnya, hasil putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta pada Selasa 28 Juni 2022 menyatakan status PKPU WSBP resmi berakhir. Adapun hasil voting para kreditur yang telah dilakukan pada 17 dan 20 Juni 2022 adalah sebesar 80,6 pesen secara nilai utang dan 88,9 persen secara headcount Kreditur Separatis serta 92,8 persen secara nilai utang dan 96,4 persen secara headcount Kreditur Konkuren menyatakan setuju.
Sekretaris Perusahaan WSBP Fandy Dewanto mengatakan saat ini perusahaan tengah menunggu Putusan Perdamaian PKPU berkekuatan hukum tetap (inkrah). Putusan Perdamaian belum dapat inkrah dikarenakan terdapat permohonan kasasi oleh salah satu kreditur WSBP, yaitu Bank DKI.
"Dalam hal ini manajemen menghormati permohonan kasasi tersebut dan akan terus mengawal prosesnya," kata Fandy.