EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit berkelanjutan secara luas berisiko menimbulkan moral hazard debitur. Hal ini mengingat kebijakan restrukturisasi kredit sudah diperpanjang sebanyak tiga kali.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengatakan jika diperpanjang otoritas memberi masukan kepada pemerintah bahwa perpanjangan restrukturisasi kredit berpeluang debitur tidak atau menunda membayar kredit. Sedangkan jika kebijakan tersebut tidak diperpanjang dan langsung dihentikan berdampak pada cliff effect atau dampak buruk yang tiba-tiba datang dan berisiko menyebabkan kegagalan massal.
“Itu dilema. Jadi hasil dari riset kami. Nanti kami tidak lagi menerapkan stimulus secara luas, tetapi ditargetkan untuk menghindari moral hazard akibat dampak restrukturisasi kredit yang berkepanjangan,” ujarnya, Kamis (8/9/2022).
Menurutnya penerapan kebijakan perpanjangan restrukturisasi akan melihat kemampuan suatu segmen, sektor, dan daerah dalam membayar kredit dan keluar dari restrukturisasi. Pada Juli 2022, restrukturisasi kredit Covid-19 tersisa Rp 560 triliunan, dengan perincian Rp 196 triliun non-UMKM, dan sebesar Rp 364 triliun berasal dari UMKM.
“Total masih ada sekitar 2,8 juta debitur restrukturisasi kredit. Kalau itu tiba-tiba kita hentikan, apakah kuat cadangan bank?” ucapnya.
Anung menyebut ketika program restrukturisasi kredit dihentikan, bank harus menyiapkan cadangan dengan jumlah yang besar. OJK berharap bank secara perlahan-lahan bisa melakukan pencadangan hingga 2023.
“Mudah-mudahan nanti pada akhir Maret 2023, cadangan bank sudah mampu mengcover Rp 560 triliun yang tersisa,” ucapnya.