EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Pertanian dari IPB University Dwi Andreas Santosa menilai lonjakan harga gabah kering panen (GKP) selama tiga bulan terakhir yakni pada Juli, Agustus dan September menjadi penutup kerugian bagi petani.
"Ini tiga bulan terakhir terjadi lonjakan harga gabah kering panen di tingkat pusat tani, jadi yang semula di bawah Rp4.000 di bulan Juni, di bulan Juli itu sudah Rp4.700 di bulan Agustus sudah Rp5.000, di bulan September sudah Rp5.300, dan terjadi lonjakan yang cukup tinggi terkait dengan itu, nah petani yang sekarang ini masih panen sedang menikmati harga yang sementara ini digunakan untuk menutupi kerugian yang mereka derita selama 4 bulan pertama di awal tahun 2022," ungkap Dwi dalam keterangan pers tertulis, Kamis (13/10/2022).
Dwi menjelaskan kenaikan tersebut menutup kerugian pada awal tahun 2022, sehingga apabila pemerintah mengintervensi hal ini, dikhawatirkan petani semakin menderita lagi. "Jadi ya sebenarnya ini kan pilihan ya. Pilihan pemerintah apakah tetap mempertahankan inflasi rendah dengan catatan mengorbankan buruh- buruh tani kita, atau kita harus perlahan-lahan menyesuaikan itu," ujarnya.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran apabila terjadi inflasi yang diakibatkan oleh sektor tanaman pangan kemudian pemerintah memutuskan impor beras bakal menyakiti para petani. "Jadi kalau menurut saya biarlah mungkin ini semacam inflasi, kemungkinan akan relatif tinggi di akhir tahun sampai awal tahun depan yang di sumbangkan oleh komoditas tanaman pangan, tapi biarlah kalau itu harga bisa kita pertahankan dengan baik, otomatis kan inflasi tahun depan untuk sektor tanaman pangan kan relatif rendah, karena sudah naik duluan," jelasnya.
Dwi juga menyarankan pemerintah agar menaikkan harga pokok pembelian (HPP) gabah kering panen (GKP) yang sebelumnya Rp4.200 menjadi Rp 6.000 per kg GKP. Kenaikan ini diharapkan menjadi penyemangat sehingga perlahan-lahan produksi padi dapat mengalami peningkatan produksi.