EKBIS.CO, JAKARTA -- Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia perlu terukur untuk pelaku usaha. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyampaikan dampak dari naiknya bunga acuan di satu sisi bisa perkuat ketahanan kurs rupiah karena fenomena super dolar terus berlanjut.
"Sementara efek negatif akan dirasakan ke pelaku usaha dan perbankan berupa kenaikan bunga pinjaman," katanya, Kamis (20/10).
Menurutnya, suku bunga pinjaman bank (SBDK) mulai terpantau meningkat sehingga pelaku usaha harus atur strategi dalam membayar bunga dan cicilan pinjaman modal kerja. Bagi konsumen di dalam negeri dampak naiknya suku bunga acuan yang kontinyu akan menurunkan tingkat belanja.
Terutama penjualan kendaraan bermotor dan rumah akan alami perlambatan. Ini yang menurunkan inflasi inti, karena demand melemah.
"Tapi sebenarnya pr utama adalah mengendalikan cost push inflation atau sisi penawaran lewat intervensi pemerintah di pangan dan energi," katanya.
Selama cost push inflation masih terjadi naiknya bunga acuan tidak serta merta turunkan inflasi umum. Kenaikan inflasi akibat biaya produksi dan operasional perusahaan yang naik.
Contohnya, adalah naiknya biaya bahan baku karena harga komoditas naik, ongkos angkutan naik karena harga BBM meningkat, gangguan rantai pasok. Itu tidak bisa ditekan dengan suku bunga harus akar masalahnya yang diselesaikan lewat intervensi pemerintah.
"Terutama koordinasi fiskal moneternya diperkuat, seperti pemberian subsidi energi yang diperbesar, subsidi pupuk, memangkas rantai pasok pangan sampai koordinasi antar kepala daerah dalam menurunkan tingkat inflasi," katanya.
Dengan naiknya bunga acuan BI memperlebar jarak dengan bunga acuan AS sehingga memberikan efek menahan kurs semakin melemah. Tapi idealnya kenaikan bunga butuh 50-75 bps lagi untuk tahan rupiah ke level Rp 16 ribu pada akhir tahun.