EKBIS.CO, JAKARTA - Polemik dalam RUU PPSK yang mengatur tentang masuknya aset kripto sebagai bagian dalam kerangka inovasi teknologi sektor keuangan masih berlanjut. Tarik ulur wewenang dan tumpang tindih antar regulator mengundang pertanyaan, ke mana arah pengaturan aset kripto dalam jangka panjang? Sementara jumlah investor aset kripto terus bertambah dan dikhawatirkan tumpang tindih aturan aset kripto akan memicu pelarian investor kripto ke bursa di luar negeri.
Di saat yang bersamaan dengan pembahasan RUU PPSK, kehadiran Peraturan Bappebti No.8/2021 yang mengatur tentang pedoman penyelenggaraan perdagangan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka memerlukan berbagai masukan dari seluruh pemangku kepentingan. Untuk menghindari tumpang tindih pengaturan aset kripto, maka RUU PPSK dan Peraturan Bappebti harus dilakukan harmonisasi.
Dalam kesempatan Diskusi Publik bertajuk Arah Pengaturan Aset Kripto di Indonesia, Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan Bappebti sudah memiliki peraturan sebagai payung hukum bursa berjangka aset kripto. "Maka RUU PPSK idealnya disinkronkan dengan pengaturan di dalam Perba 8/2021 karena sama-sama bicara soal aturan aset kripto. Jangan ada dualisme antara Bappebti dengan otoritas lainnya, karena bisa menghambat pengembangan aset kripto,” kata Bhima.
Bhima yang merupakan Ekonom juga menambahkan Bappebti seharusnya menitikberatkan pada mitigasi risiko yang muncul di industri ini. Catatan untuk Peraturan Bappebti sendiri setidaknya harus ada perbaikan teknis persyaratan modal minimum bursa berjangka, lembaga kliring, dan tempat penyimpanan aset kripto sehingga tidak menghambat berkembangnya infrastruktur perdagangan aset kripto di Indonesia, serta membuka kesempatan kepada bursa berjangka existing untuk terlibat dalam perdagangan aset kripto.
"Waktu tidak banyak sehingga Bappebti diminta segera merevisi poin dalam Perba aset kripto sebelum RUU PPSK disahkan. Kalau perlu setelah Perba direvisi maka Bappebti bisa segera meluncurkan Bursa Berjangka Aset Kripto,” ujarnya.
Selama penyusunan RUU berlangsung, arah pengaturan RUU PPSK terkait aset kripto dinilai menimbulkan kebingungan atas posisi aset kripto di bawah OJK dan BI sebagai mata uang atau tetap sebagai komoditas. Sementara BI tengah menyusun CBDC (Central Bank Digital Currency) atau Rupiah digital dalam RUU PPSK.
Jika ada aset kripto yang sama-sama diatur di bawah otoritas BI dan OJK selain CBDC maka akan berisiko menggeser aset kripto dari definisi komoditas menjadi mata uang. Hal tersebut justru rentan menimbulkan gangguan pada sektor keuangan.
“Sudah tepat posisi penyempurnaan aturan eksisting dari aset kripto yang idealnya dilakukan, dibanding melompat terlalu jauh dan menambah PR baru bagi BI dan OJK dalam RUU PPSK. Jalan tengah memang terbuka, tapi arah regulasi aset kripto harus diperjelas, apakah ke depan Bappebti akan masuk di bawah ranah OJK? Bagaimana dengan peran Kementerian Perdagangan sebagai pembuat kebijakan terkait perdagangan berjangka? Pertanyaan ini harus segera dijawab, dan draft RUU PPSK perlu diubah total pada bagian aset kripto untuk mengakomodir pengaturan yang ideal bagi stabilitas perekonomian dan perlindungan investor, ” tutup Bhima.