EKBIS.CO, JAKARTA-- Kebijakan penggunaan bauran biodiesel yang telah dijalankan semenjak 17 tahun lalu telah berhasil membawa Indonesia sebagai pengguna dengan persentase bahan bakar nabati Biodiesel terbesar di dunia. Di hadapan peserta COP27 dan Sustainable Innovation Forum 2022, Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) menjelaskan nilai tambah yang diterima masyarakat dari aspek ekonomi dan lingkungan dari penggunaan biodiesel di Indonesia.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) menjelaskan bahwa pengembangan biodiesel di Indonesia sudah berjalan semenjak 17 tahun lalu yang ditujukan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian dan lingkungan. Saat ini, Indonesia menjadi negara pertama yang mengimplementasikan mandatori Biodiesel campuran 30% atau B30.
"Ada tiga tujuan yang ingin dicapai di awal pengembangan biodiesel yaitu ketahanan energi, penciptaan lapangan kerja, dan lingkungan, ujar Paulus saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia dalam COP27, Sharm el Sheikh- Mesir pada pekan kedua November 2022.
Dijelaskan Paulus, kapasitas produksi biodiesel Indonesia mencapai 17,14 juta Kiloliter yang sebagian besar berada di wilayah barat Indonesia. Aspek geografis inilah yang menjadi tantangan dalam proses distribusi biodiesel dari wilayah barat ke timur Indonesia.
"Jarak Indonesia dari barat ke timur sekitar 5.000 kilometer. Ini artinya dua kali lebih jauh dari jarak London ke Moskwa. Tantangan geografis menjadi persoalan dalam pendistribusian biodiesel di wilayah Indonesia," ujar Paulus.
Adapula tantangan berkaitan fasilitas logistik dan tanki penyimpanan biodiesel yang belum merata tersebar di Indonesia. Paulus menuturkan bahwa rantai pasok distribusi biodiesel terus dibenahi setiap tahunnya sampai sekarang.
“Banyak orang bertanya bagaimana ketersediaan stok minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan produk pangan. Karena ada kekhawatiran mandatori mengancam pangan,”urainya.
Di dalam negeri, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel tidak mengganggu kebutuhan produk pangan. Pada 2021, penggunaan minyak sawit sebagai sumber bahan baku biodiesel sebesar 16,1% atau 7,3 juta ton dari total produksi CPO (minyak sawit mentah) dan CPKO ( minyak kernel mentah) yang berjumlah 52,096 juta ton. Selanjutnya pada 2022, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel diperkirakan naik menjadi 17% dari produksi CPO.
Paulus dalam kesempatan tersebut juga menjelaskan tata kelola sawit sebagai bahan baku biodiesel yang telah menerapkan aspek sustainability di Indonesia. Sebagai contoh, perusahaan sawit diwajibkan menerapkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Begitupula petani sawit yang diwajibkan ISPO dalam 4 tahun mendatang. Hingga tahun ini, jumlah produksi CPO bersertifikat ISPO mencapai 22 juta ton dan lahan bersertifikat ISPO seluas 3,6 juta hektare.
“Di sektor hulu, pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan moratorium pembukaan lahan baru kelapa sawit semenjak 2011,” tambahnya.
Berkaitan perubahan iklim, mandatori biodiesel berkontribusi mengurangi emisi karbon 22,48 juta ton CO2 ekuivalen pada 2020. Kontribusi ini terus meningkat pada 2021 yang mencapai emisi 25,43 Juta ton CO2 ekuivalen.
Dari aspek ekonomi, mandatori biodiesel juga meningkatkan kesejahteraan petani karena meningkatnya permintaan domestik akan CPO (Crude Palm Oil), dan menciptakan lapangan kerja kepada 1,6 juta orang.
Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, dalam kesempatan sama, mengatakan pemerintah bertekad untuk memenuhi target bauran EBT 23% pada tahun 2025 dan mencapai Net Zero Emissions sektor energi tahun 2060.
“Kelapa sawit sangat strategis dalam pengembangan energi baru terbarukan dalam upaya memenuhi komitmen NDC 2030. Indonesia telah mempunyai peta jalan dalam pengembangan biofuel, biomass cofiring dan implementasi hijau seperti biogas,” urainya.