Ia mengatakan pada 2023 neraca transaksi berjalan akan menjadi defisit yang masih dapat dikelolayakni sebesar 1,10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023, dari perkiraan surplus sebesar 1,05 persen terhadap PDB pada 2022.
"Kami melihat pertumbuhan ekspor akan melambat karena harga komoditas yang menurun, terutama batu bara dan IHK, didorong oleh permintaan global yang lesu di tengah meningkatnya risiko perlambatan ekonomi global," katanya.
Meski diproyeksikan menyusut, lanjutnya, surplus neraca dagang bisa bertahan lebih lama sebelum berubah menjadi defisit. Pasalnya, penurunan harga komoditas akan lebih bertahap setelah China membuka kembali perekonomian.
Ia memperkirakan pertumbuhan impor akan lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor pada tahun 2023 karena permintaan domestik akan terus menguat, menyusul pencabutan PPKM pada akhir tahun 2022 dan keputusan untuk melanjutkan proyek strategis nasional.
"Namun, pertumbuhan impor pada tahun 2023 terlihat melemah dari pertumbuhan tahun 2022 karena harga minyak yang lebih rendah dan antisipasi penurunan ekspor. Sebagian bahan baku untuk memproduksi barang ekspor diperoleh dari impor," ucapnya.