EKBIS.CO, JAKARTA -- Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) menyampaikan sedang terjadi kapasitas berlebih penggilingan padi di Tanah Air. Itu menyebabkan terjadinya perebutan pasokan gabah antar penggilingan dan turut mengerek kenaikan harga.
Ketua Umum Perpadi, Sutarto Alimoeso, mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir kelebihan kapasitas penggilingan terus terjadi meskipun telah banyak penggilingan padi yang juga gulung tikar. Namun, pemerintah masih terus mengizinkan pembukaan penggilingan padi dengan alasan investasi bahkan investasi asing.
Namun di satu sisi, peningkatan produksi padi tidak signifikan sehingga tak mampu mengimbangi besarnya kapasitas penggilingan padi.
"Jadi antara potensi produksi gabah dengan potensi produksi yang bisa diolah oleh penggilingan padi ini jomplang," kata Sutarto kepada Republika.co.id, Selasa (14/3/2023).
Mengutip data terakhir BPS, total produksi gabah kering giling sepanjang 2022 mencapai 54,75 juta ton, atau hanya naik 0,6 persen dari produksi 2021 sebanyak 54,42 juta ton. Dari produksi itu dihasilkan, produksi beras sebanyak 31,54 juta ton tahun 2022, naik 0,59 persen dari 31,36 juta ton pada 2021.
Sementara itu, Perpadi mencatat, jumlah penggilingan padi di Indonesia saat ini sekitar 169 ribu penggilingan, turun dari tahun 2012 lalu sekitar 181 ribu penggilingan. Meski mengalami penurunan, banyak penggilingan padi skala besar yang terus menambah kapasitas gilingnya.
"Kapasitas giling terbaru saat ini sudah lebih dari dua kali lipat produksi padi. Itu hitungan kasar, kalau mau dihitung lebih detail mungkin tiga kali lipat, tapi pemerintah masih berikan izin bangun baru lagi," kata dia.
Akibat over kapasitas itu, terjadi persaingan antar penggilingan. Tentu saja, kata Soetarto penggilingan padi besar yang memiliki modal lebih besar jauh lebih mampu menawar gabah petani. Kenaikan harga pun terjadi akibat perebutan itu.
"Jadi sekarang yang membuat harga naik terus itu persaingan antar kebutuhan penggilingan padi cukup tinggi meski sudah panen mereka terus menumpuk stok, apalagi yang besar-besar dan punya uang," kata Sutarto.
Ia mencatat, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani saat ini sudah cukup tinggi, mencapai Rp 6.000 per kg, jauh dari acuan harga pemerintah sebesar Rp 4.200 per kg.
Meski harga tinggi, Sutarto membeberkan tak semuanya petani mendapat keuntungan. Pasalnya, terdapat pihak yang disebut middle man atau makelar yang menghubungkan produksi gabah petani dengan penggilingan. Mereka, kata Sutarto ikut mempermainkan harga dengan perusahaan penggilingan yang ingin mendapatkan gabah.
"Makelar middle man ini banyak. Jangan-jangan petani juga tidak menikmati harga yang sesungguhnya diharapkan," kata dia.