EKBIS.CO, JAKARTA -- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meragukan kebijakan ekspor pasir laut tak akan merusak lingkungan. Menurut Jatam, kebijakan yang berorientasi ekspor secara langsung bakal dilakukan secara masif dan tak terkendali demi mengejar keuntungan.
"Urgensi utama ini bukan soal tambang atau bukan, tapi soal ekspor. Ketika semangatnya ekspor maka komoditas itu akan diproduksi secara masif dan berlebihan karena yang dikejar adalah keuntungan dari jual bahan mentah," kata Kepala Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil kepada Republika, Sabtu (2/6/2023).
Jamil menuturkan, hal itu berdasarkan pengalaman pada komoditas lain, seperti kayu, batu bara, hingga komoditas tambang mentah lainnya yang dimiliki Indonesia. Lagi-lagi, kata Jamil, pemerintah menempatkan negara sebagai penyedia bahan baku yang akan dinikmati negara-negara maju. Sementara itu, masyarakat pesisir bakal dirugikan akibat kegiatan penambangan.
Dia mengingatkan, ketika pemerintah melakukan pengendalian pengusahaan pasir laut tahun 2002 karena diakui memiliki daya rusak yang besar. Sejumlah hasil riset pun menunjukkan hal sama. Pengerukan pasir laut baik di pesisir maupun tengah laut akan menyebabkan kerusakan lingkungan seperti abrasi di pesisir pantai.
Selain itu, laut akan menjadi keruh dan mengubah alur sumber daya ikan yang menjadi sumber mata pencarian para nelayan. Belum lagi, akan timbul konflik sosial antara penambang pasir dengan warga yang bermukim di sekitarnya.
Jamil menilai, alasan-alasan demi kesehatan laut yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 sebagai dasar hukum ekspor pasir laut bertolak belakang dengan kondisi riil yang ditemukan dalam penelitian Jatam.
"Tidak berlebihan kalau ini dikatakan sebagai sebuah memo perusakan pesisir pulau kecil hingga laut. Saya kira tidak perlu terlalu cerdas menjawab itu. Kami menantang, coba saja. Kita lihat apakah itu (perusakan lingkungan) tidak terjadi," kata dia.
Jatam pun meminta agar Presiden Joko Widodo yang menyetujui PP tersebut untuk membatalkannya. "Bagi Pak Presiden (Jokowi) selaku penerbit kebijakan, di akhir masa jabatannya, janganlah lagi menerbitkan kebijakan yang akan diuji masyarakat di Mahkamah Agung," katanya.