Yusuf menambahkan, situasi perdagangan ekspor-impor lebih banyak ditentukan oleh faktor permintaan global yang beririsan langsung dengan pergerakan harga.
Oleh sebab itu, tidak banyak ruang kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan surplus perdagangan. Apalagi, tahun 2023 akan selesai dalam lima bulan mendatang.
“Jadi (yang bisa dilakukan) lebih kepada bagaimana menjaga kinerja produk-produk ekspor andalan,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Juli lalu, Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menyatakan keberatan terhadap aturan baru pemerintah soal devisa hasil ekspor (DHE). Aturan baru tersebut dinilai dapat menghambat kinerja ekspor perikanan Indonesia dan berdampak masif terhadap nelayan di Tanah Air.
Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Adapun beleid itu berlaku untuk sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Budhi mengatakan, eksportir produk olahan ikan tak masalah bila harus menempatkan DHE ke rekening khusus. Namun, yang menjadi titik persoalan yakni besaran 30 persen yang harus disimpan selama tiga bulan.
Alih-alih pemerintah ingin meningkatkan devisa, Budhi menilai, beleid tersebut justru bisa berdampak buruk pada kinerja ekspor perikanan. Di sisi lain, keuntungan ekspor olahan ikan per tahun tak lebih dari dua digit. Tercatat sepanjang 2022 lalu, total nilai ekspor perikanan sebesar 6,2 miliar dolar AS.
Tak hanya berdampak pada kinerja ekspor, nelayan sebagai penyuplai ikan pun bakal terimbas. Sebab, karena arus kas yang terganggu turut mempengaruhi daya serap hasil tangkapan ikan dari para nelayan.