EKBIS.CO, JAKARTA -- Bahan bakar minyak (BBM) Pertamax Green tengah dikembangkan produsen bensin pelat merah, PT Pertamina (Persero) sebagai bahan bakar masa depan dengan campuran minyak mentah dan bahan bakar nabati.
Pada Juli Lalu, Pertamina telah meluncurkan Pertamax Green 95 atau BBM (Research Octane Number) 95 dengan emisi yang lebih rendah dibandingkan Pertamax dengan RON 92. Angka RON menunjukkan tingkatan kualitas bahan bakar berdasarkan nilai oktan, semakin tinggi oktan semakin rendah emisinya.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan, selain nilai oktan yang lebih tinggi Pertamax Green 95 dibuat dengan campuran Pertamax dengan etanol lima persen. Etanol itu pun dihasilkan dari molases tebu dan menjadi bahan bakar nabati yang terbarukan. Itulah sebab, Pertamina menamakannya sebagai Pertamax Green 95.
“Sebetulnya, latar belakangan pengembangan ini kita ingin dan harus dukung pemerintah untuk target Net Zero Emission 2060, yang kami kembangkan ini sangat sesuai dengan quick win peningkatan bioenergi,” kata Nicke saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (30/8/2023).
Nicke menuturkan, di Indonesia Pertamina bukan menjadi produsen pertama yang menjual produk BBM RON 95. Namun, dengan perbedaan Green dan harga yang kompetitif, ia meyakini produk bahan bakar itu punya daya saing.
Lebih lanjut ia juga mengungkapkan, sekitar sepertiga BBM gasoline masih diimpor. Dengan kata lain, ketika Pertamina mencampurnya dengan etnaol, secara otomatis dapat menurunkan porsi impor gasoline dan berdampak pada perbaikan neraca dagang migas.
Namun, hal itu perlu diimbangi dari sisi hulu penyediaan etanol. Diperlukan perluasan area perkebunan agar dapat memproduksi lebih banyak etanol sebagai campuran BBM.
“Jika sebelumnya kita sudah memproduksi biodiesel B30, maka selanjutnya ke biogasoline berbasis etanol. Itu bisa dari tebu, singkong, jagung, dan sorgum,” katanya.
Sementara Pertamax Green 95 terus diperluas, Nicke mengungkapkan rencana Pertamina untuk mengganti BBM Pertalite RON 90 menjadi Pertamax Green 92. Produk ini akan dibuat dengan pencampuran antara Pertalite dengan tujuh persen etanol.
Dari campuran itu, diperoleh bahan bakar oktan 92 tetap dengan keunggulan bahan bakar nabati terbarukan. Pertamax Green 92, berdasarkan rencana pertamina diharapkan menjadi gasoline bersubsidi selanjutnya menggantikan Pertalite.
Bukan tanpa sebab. Nicke menjelaskan, tujuan utama dari migrasi itu yakni untuk mengurangi emisi kendaraan sebagai sumber polusi udara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kata dia, juga telah menyatakan oktan number yang boleh dijual di Indonesia minimal 91.
“Kami mengusulkan ini karena lebih baik, kalau misalnya dengan harga yang sama, tetapi masyarakat mendapatkan yang lebih baik dengan oktan number lebih baik sehingga untuk mesin juga lebih baik sekaligus emisinya, why not?” ujarnya.
Hanya saja, usulan tetap usulan. Nicke mengatakan seluruh keputusan ada di tangan pemerintah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, belum mengiyakan apakah rencana tersebut akan direalisasikan tahun depan karena masih dalam pengkajian.
Namun, ia mengatakan, Pertamina memang terus mencari jenis BBM yang lebih ramah lingkungan. Semakin tinggi nilai oktan, semakin baik untuk menekan emisi.
“Ini kan begini, mau mencari jenis BBM yang ramah lingkungan, kalau oktan number makin tinggi, makin bagus bisa kurangi Nox dan Sox (emisi udara), ini masih dikaji,” kata Arifin di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/8/20230.
Terlebih lagi, Arifin menuturkan, akan lebih baik bila bahan bakunya menggunakan campuran bahan bakar terbarukan seperti etanol untuk pembuatan Pertamax Green 92.
Campuran etanol yang kini mulai diproduksi di Indonesia sekaligus akan mengurangi ketergantungan impor minyak mentah nasional. Namun, lagi-lagi ia mengingatkan, inovasi BBM hijau tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi bila itu menjadi BBM bersubsidi.
“Itu bagus (pakai etanol), tapi siapa yang mau bayar?” ujarnya.
Diketahui, pemerintah juga tengah berjibaku menyelesaikan persoalan polusi udara di Tanah Air, khususnya wilayah Jabodetabek yang menjadi sorotan dunia. Sektor transportasi dianggap pemerintah menjadi kontributor terbesar polusi udara.
Oleh karena itu, ia mengatakan, penghasil utama emisi itu harus menjadi sasaran kebijakan pemerintah dalam penanganan polusi.