Usulan tarif Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebesar Rp 250 ribu - Rp 300 ribu per orang dinilai wajar. Pasalnya, sejak awal perencanaan, keberadaan Kereta Cepat memang dinilai untuk menyasar kalangan menengah atas.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno, mengatakan, tarif Kereta Cepat semestinya memang tidak boleh murah agar tidak menganggu moda transportasi lainnya yang sudah lebih dulu ada, seperti kereta eksekutif.
“Masih wajar itu memang tidak boleh murah karena untuk kalangan kelas atas. Subsidi juga tidak perlu, transportasi kereta api di Indonesia sudah banyak subsidi,” kata Djoko kepada Republika.co.id, Kamis (14/9/2023).
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selaku pengelola telah menyusun sejumlah skema tarif untuk Kereta Cepat. Yakni tarif (bundling) Kereta Cepat sekaligus kereta feeder dan LRT sebesar Rp 300 ribu per penumpang.
Kemudian Rp 250 ribu per penumpang untuk kelas premium ekonomi tanpa feeder dan LRT. Kategori lainnya yakni tarif dinamis (dynamic pricing) untuk kelas utama dan kelas bisnis.
Djoko menuturkan, harga tiket Rp 250 ribu per penumpang itu bisa dijadikan tarif dasar. Sementara tarif Rp 300 ribu bisa menjadi harga bundling dengan memperhitungkan biaya transportasi menuju Stasiun Halim di Jakarta maupun menuju Stasiun Padalarang di Bandung.
“Naik kereta feeder dari Stasiun Kereta Api Bandung ke Stasiun Kereta Cepat Padalarang kemudian dari Stasiun Kereta Cepat Halim ke stasiun LRT Dukuh Atas (atau sebaliknya) ya lebih kurang memang bisa Rp 50 ribu,” ujarnya.
Selain itu, ia pun mengingatkan, harga tiket KA Argo Parahyangan relasi Stasiun Gambir-Stasiun Bandung saat ini pun telah dihargai Rp 250 ribu. Oleh karena itu, sebaiknya baik Kereta Cepat maupun KA Argo Parahyangan tetap pada segmen pasar masing-masing agar tidak terjadi persaingan.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Nailul Huda, mengatakan, sejak awal Kereta Cepat memang sudah ditujukan untuk kalangan menengah bahkan kelas atas. Otomatis dengan tiket yang dianggap mahal oleh kalangan menengah ke bawah, Kereta Cepat tentu bukan menjadi pilihan.
“Menengah ke bawah ya memilih transportasi lain lebih murah seperti travel, bis, atau kereta eksekutif. Kalau kalangan menengah atas mungkin cenderung mementingkan waktu untuk sampai ke Bandung,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia menilai, dampak ekonomi dari keberadaan KCJB terhadap kebutuhan daerah kemungkinan masih terbatas. Sebab, sangat jauh dari permintaan pasar.
“Ini disebabkan oleh perencanaan Kereta Cepat Jakarta Bandung yang sangat buruk,” ujarnya.