Faisal mengatakan banjir produk impor, terutama dari China sejatinya telah terjadi setelah adanya perjanjian perdagangan China ASEAN Free Trade Area (CAFTA) sejak 2005. Akibat perjanjian tersebut, ucap Faisal, konsumen lebih memilih produk tekstil China karena lebih murah dan bervariasi.
"Tapi keberadaan TikTok lebih advance lagi. Itu yang dikhawatirkan, artinya itu bisa menjadi satu ancaman karena kelebihannya itu, mereka lebih paham pasar di Indonesia," ucap Faisal.
Menurut Faisal, pemerintah sudah sepantasnya hadir untuk melindungi pelaku UMKM. Ia menyebut, para pelaku UMKM tentu tidak akan bisa bersaing dengan produk impor yang menawarkan harga lebih rendah.
"Masalah UMKM itu akses pasar. Artinya perlindungan akses pasar perlu diberikan secara khusus untuk UMKM karena mereka lebih rentan," kata Faisal.
Sementara Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan, pemerintah harus tegas dalam memisahkan media sosial dan social commerce. Piter menilai pemerintah harus melarang platform media sosial dipergunakan untuk berjualan.
"Yang dibutuhkan aturan yang melarang social commerce. Yang harus dilakukan pemerintah melarang adanya social commerce, hanya ada e-commerce. Tujuannya agar ada pengawasan dan perlakuan yang adil kepada semua pelaku perdagangan daring," kata Piter.