EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan pelarangan penggabungan layanan perdagangan e-commerce di dalam platform media sosial bukan solusi yang efektif. Huda menyampaikan praktik pemisahan aplikasi itu hal biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan aplikasi utamanya.
"Regulasi memisahkan media sosial dengan TikTok Shop itu regulasi yang tidak bertaji karena pada akhirnya algoritma di TikTok Shop bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Padahal, menurut Huda, pemerintah sebaiknya mengejar TikTok memiliki izin sebagai social commerce. Huda menjelaskan, praktik social commerce sudah jamak dilakukan. Bahkan, dia menyebut sudah ada sejak era Kaskus atau pada awal dekade 2010-an dan sebagainya.
Mengutip data dari BPS, Huda menyebut empat platform yang sering digunakan UMKM untuk berjualan secara daring dengan urutan paling banyak ialah instant messenger, media sosial, e-commerce atau marketplace, dan website. Artinya, ucap Huda, media sosial memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM dengan urutan nomor dua terbanyak.
Huda menilai urutan tersebut merupakan tahapan UMKM bisa go digital. Dimulai dengan penggunaan instant messenger seperti Whatsapp dengan jangkauan terbatas, kemudian pindah ke media sosial seperti Instagram, Facebook, atau TikTok, dan jika sudah lebih pengalaman, mulai masuk ke marketplace atau e-commerce yang pada akhirnya bisa memiliki website pribadi.
"Jadi jika sosial media dilarang untuk berjualan, itu memutus satu langkah UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah," ucap Huda.
Huda mengatakan, pemerintah seharusnya mengatur social commerce bisa setara dengan e-commerce ataupun pedagang luring sehingga tercipta level playing field yang setara. Selain itu, proteksi produk lokal dengan memperketat produk impor dan pemberian disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal.
"Jadi saya melihat, social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," lanjut Huda.
Huda mendorong pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsipnya sama-sama berjualan menggunakan internet. Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce.
Pada 2019, Huda sudah menyampaikan social commerce akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Untuk itu, Huda menyarankan pemerintah memasukkan detail pengaturan social commerce untuk disetarakan dengan e-commerce, mulai dari persyaratan administrasi hingga perpajakan.
"Online commerce juga harus melakukan tagging barang impor," sambung Huda.
Setelah itu ada dua hal yang bisa dilakukan, ucap Huda, seperti memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh dapat promo dari platform, memberikan insentif berupa promo ke produk lokal, menyediakan minimal 30 persen etalase platform untuk produk lokal, dan poduk-produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM.