EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan buka suara terkait kondisi anggaran Sulawesi Selatan yang mengalami defisit sebesar Rp 1,5 triliun, bahkan disebut bangkrut. Pemerintah menyatakan penggunaan istilah ‘bangkrut’ sejatinya kurang tepat untuk memaknai ketidakmampuan.
Staf Khusus Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, ada empat solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, di antaranya negosiasi utang jangka pendek, restrukturisasi utang jangka panjang, optimalisasi pendapatan, dan efisiensi serta realokasi belanja untuk menekan SILPA, dan/atau refinancing sebagai langkah terakhir.
“Sulawesi Selatan belum mampu untuk melunasi utang jangka pendek/panjang pada tahun ini. Yang dialami pemprov bukanlah kebangkrutan, melainkan kesulitan likuiditas akibat dari pengelolaan utang jangka pendek yang kurang prudent,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (18/10/2023).
Berdasarkan hasil analis laporan keuangan daerah dan laporan realisasi anggaran 2023, Yustinus melanjutkan, Sulawesi Selatan menunjukkan kinerja keuangan yang kurang sehat, khususnya pada aspek likuiditas. Pada 2023, terdapat utang jangka pendek jatuh tempo dan utang jangka panjang yang menjadi kewajiban pemerintah provinsi.
Sebagai catatan, masalah yang dialami Sulawesi Selatan adalah likuiditas (kesulitan melunasi utang jangka pendek), bukan solvabilitas (kesulitan melunasi utang jangka panjang). Hal ini mengingat angsuran pokok utang jangka panjang telah dianggarkan dalam APBD 2023 pada pengeluaran pembiayaan.
“Tingginya kewajiban utang tersebut sebenarnya dapat dihindari dengan optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja, mengingat tingginya akumulasi SILPA 2023 dan tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Per September 2023, SILPA Sulawesi Selatan sebesar Rp 676 miliar dan kondisi ini diprediksi tetap terjadi hingga akhir tahun melihat tren realisasi pendapatan hasil daerah yang meningkat serta pola akumulasi SILPA pada dua tahun sebelumnya.